Ketika sekolah gamang mengorganisasikan pendidikan karakter dengan kegiatan belajar mengajar. Saat para aktivis pendidikan lantang bersuara tentang maraknya bimbingan belajar swasta mengambil alih peran sekolah, kita melupakan hal esensial yang harusnya bisa kita benahi lebih awal. Sekolah yang diharapkan mampu menjadi tuntunan bagi peserta didik untuk mebangun nilai karakter yang ideal, namun abai menjalankan tugasnya.
Seperti yang dinyatakan Kristiawan dan Yuliandri dalam sartikelnya yang berjudul Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap Peningkatan Kinerja Guru tahun 2017 menyatakan bahwa Sekolah terlalu sibuk dihadapkan pada penilaian yang didasarkan pada parameter komponen sistem. Komponen-komponen sistem sekolah seperti output dan outcome semata. pada parameter ini Pendidikan karakter memang bukan salah satu hal vital.
Pemerintah seakan terlalu naif ketika mencanangkan program pendidikan karakter melalui kurikulum 2013 yang kini akan segera digantikan dengan kurikulum 2022, sedangkan banyak tenaga pendidik dan kependidikan tertatih-tatih untuk bergeser pada kurikulum ini, dan akhirnya fondasi pendidikan yang belum siap hanya akan membawa pada kondisi yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya, yaitu memandang peserta didik sebagai angka statistik. Hal ini tentu menjadikan struktur yang masih labil menjadi bimbang dan justru kembali pada paradigma lama, pendidikan yang berfokus pada kemampuan kognitif peserta didik semata.
Pada implementasinya, guru tidak hanya memberi contoh dalam memberikan pendidikan karakter, idealnya pendidikan karakter dapat tumbuh ketika pendidik mencontohkan dengan tindak tutur dan tindak lakunya. Banyak guru yang masih mengesampingkan hal ini dan menganggap bahwa pendidikan karakter hanya muncul pada dimensi teoritis. Pendidikan yang macam ini akhirnya gagap dengan mekanisme penilaian sikap, dan mendasarkan penilaian sikap yang selaras dengan nilai akademik.
Sudah menjadi realita umum ketika peserta didik mendapatkan nilai akademik yang tinggi juga akan mendapatkan nilai sikap yang baik pula. Paradigma berpikir praktis semacam ini agaknya kurang tepat jika terus menerus dilaksanakan dalam dunia pendidikan. Peserta didik yang terus diperlihatkan hal tersebut tentu juga akan maklum pada sistem ini. Padahal kita tahu bahwa sistem ini akan membahayakan karakter peserta didik itu sendiri pada masa depan, dengan paradigma berpikir yang sama melegitimasi bahwa pendidikan karakter adalah anak tiri dari sistem pendidikan dan berlanjut nantinya pada sistem sosial.
Praktik kurang tepat tentang pendidikan karakter di sekolah sebenarnya dimulai dari awal rekruitmen peserta didik itu sendiri. Sistem zonasi yang diaplikasikan untuk mengatasi masalah kesenjangan sekolah negeri, tampaknya telah jebol dengan kuasa lokal. Sistem zonasi banyak disiasati dengan surat "sakti", seperti surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh pejabat setempat. Dihadapkan dengan kasus seperti ini, sistem seakan menjadi kerbau dicokok hidungnya, tidak berdaya dan hanya menurut saja.
Parahnya lagi orang tua seakan tidak peduli dan justru mengusahakan segala upaya untuk ikut melakukan hal serupa. Sebenarnya hal ini tidak hanya melukai sistem pendidikan, namun juga telah mencontohkan tindakan yang tidak berkarakter pada putra-putrinya, bahkan ada beberapa peserta didik yang dengan gamblang mengakui, bahkan bangga dengan hal ini karena menganggap memiliki kuasa atau prestise. Dengan cara berpikir yang sudah salah sejak awal, dan dilanggengkan dengan struktur yang ada, nampaknya sekolah tidak menjadi tempat yang ideal untuk memperbaiki pola pikir dan tindak yang salah itu.
Guru sebagai dan pemimpin satuan pendidikan sebagai model bagi peserta didik untuk membentuk kepribadian di lingkungan sekolah harus segera berbenah. Ketika Negara tengah dihadapkan dengan berbagai persoalan korupsi, sekolah pun demikian. Banyak kita jumpai kasus di media massa tentang korupsi, sebut saja kasus, suap jabatan, penarikan dana akademik tidak wajar, dan belum lagi bagi-bagi jatah event kesiswaan sekolah, seakan menjadi santapan yang lazim di dunia pendidikan.
Pengelola satuan pendidikan, dan lembaga terkait seakan mewajarkan praktik ini, dan menganggapnya menjadi bagian dari dunia pendidikan itu sendiri. Masalahnya praktik ini tidak hanya merusak kualitas pendidikan dalam ranah administrasi dan pelayanan nya, namun mirisnya hal ini ketahui oleh peserta didik.
Peserta didik, terlebih yang aktif dalam bidang organisasi seperti OSIS, MPK, atau pengurus ekstrakurikuler sudah akrab dengan hal ini. Mereka dibawa ke dalam birokrasi sekolah yang kurang sehat, dipertontonkan pengelolaan organisasi yang buruk dan kelaziman bagi-bagi. Sungguh naif ketika kita pura-pura tidak tahu dan menganggap krisis karakter seperti korupsi dan suap adalah penyakit ketika orang sudah dewasa dan berkarier. Tak salah jika kita berpandangan bila segala kekacauan yang terjadi adalah akibat dari sistem dan budaya pendidikan yang salah kelola.
Masalah penanganan pendidikan karakter di sekolah tidak berhenti pada masalah sistem yang korup, namun juga perilaku sosial pendidik dan tenaga kependidikan. Budaya perpeloncoan dalam penerimaan peserta didik baru memang sudah usang dan ditinggalkan. Namun ada sisa kebiasaan buruk yang belum dihilangkan, yaitu budaya menghukum dan apresiasi yang tidak wajar.