Simulacra, suatu gagasan yang dicetuskan sebagai bentuk kritik pada cara pandang masyarakat pasca modern. Istilah Simulacra mudahnya adalah sebutan terhadap ketidakmampuan membedakan dimensi real dan virtual. Salah satu tokoh penting dalam gagasan ini adalah Jean Baudrillard. Simulacra dapat pula didefinisikan sebagai kenyataan baru yang dibuat berdasarkan peleburan teori konservatif tanda yang memisahkan penanda dan petanda. Penanda sebagai bentuk bunyi dan petanda sebagai referensi. Pakem lama atas konsep ini seakan kabur dalam apa yang disebut sebagai simulacra. Tidak ada lagi batas-batas diantara tanda, petanda, dan penanda. Tidak ada lagi bentuk baku dari referensi itu sendiri.
Sebagai contoh dalam realita, kita mengenal kata telur, maka referensi atau rujukan dari kata telur tersebut adalah benda bulat, keluar dari hewan, bercangkang dan sebagiannya mengacu pada objek telur. Namun pada simulacra kita mungkin mengenal humpty dumpty. Tokoh ini merupakan bentuk baru atas realita. Ada pula contoh istilah "badut" badut dalam simulacra telah beralih dari referensi badut sebagai penghibur atau pengisi acara yang berkostum lucu, menjadi istilah untuk menyebut teman yang sering dijadikan pelampiasan secara virtual.
Nah, dari fenomena yang sebelumnya dijelaskan, kita dapat memahami setidaknya dengan dua konsep. Pertama, bahwa finalitas makna keduanya telah mengalami pergeseran. Istilah badut merupakan bentuk dekonstruksi finalitas makna. Bahwa jika sebelumnya "badut" dimaknai sebagai pekerjaan penghibur dengan kostum lucu, telah dilucuti maknanya, kemudian direkonstruksi kembali sebagai sebuah makna baru, yaitu orang yang dapat dijadikan atau menjadikan dirinya sebagai pelampiasan hubungan sosial secara virtual. Nah, pada perubahan ini terjadi peleburan struktur, dari sebelumnya kata "badut" sebagai penanda dan referensi dari badut disebut petanda tidak lagi berlaku dalam konstruksi baru.
Badut didefinisikan ulang sebagai konsep sekaligus rujukan secara virtual, sehingga terjadi peleburan area penanda dan petanda. Konsep ini mirip dan justru lebih kuat terjadi pada fenomena humpty dumpty. Penanda humpty dumpty, patanda humpty dumpty, muncul sebagai bentuk penciptaan realita baru dan merujuk pada konsep yang sama sekali baru, penciptaan realitas dan rujukan baru ini lantas dikonsumsi sebagai sebuah realita karena menimbulkan kesan "real" di sana. Fenomena membentuk dan mengonsumsi realita ini lantas disebut oleh Umberto Eco sebagai hiperrealitas.
Mudahnya, fenomena humpty dumpty dan badut, merupakan proses pembaharuan cara pandang manusia atas kenyataan. Kenyataan yang sebelumnya hanya mengenal konsep dan rujukan, kini menjadi bias akibat bersinggungan dengan dunia virtual. Realita tidak dapat lagi dibedakan dengan konsep nir-nyata. Batas kenyataan yang dipahami manusia mulai goyah. Peleburan dalam konsep realis dan surealis berada dalam satu lorong yang sama. Ibarat sekat yang memisahkan dunia ide dan nyata. Segregasi yang dulunya dijadikan patokan pemahaman kini telah mencair, memungkinkan setiap orang secara otonom memiliki disparitas penuh atas konsepsinya. Fenomena semacam ini tentu akan terkait dengan fenomena lain semacam post-truth.
Simulacra yang ditawarkan oleh Jean Baudrillard, memang efektif jika digunakan untuk melihat berbagai fenomena yang kini muncul sebagai dampak masifnya dunia virtual. Fenomena Simulacra setidaknya telah memberikan dorongan bagi kita untuk mendekonstruksi susunan berpikir kita. Fenomena polarisasi yang terjadi baik dalam ranah politik, hiburan, social, dan budaya, kini sangat dipengaruhi oleh dunia virtual. Melalui konsep simulacra kita dapat memahami bagaimana seseorang mampu mengidentifikasi objek virtual sebagai pemuas kebutuhan real seseorang. Orang mampu menjadikan tokoh dalam animasi atau media elektronik sebagai bagian dari dirinya.
Orang yang tidak memiliki kesempatan dalam dunia nyata akan cenderung mencari sosok idola yang dianggap mampu mewakili kekurangannya dalam dunia nyata. Hal ini dapat kita lihat dari kasus seseorang dengan kelas sosial menengah ke bawah mengidolakan pembuat konten dalam sosial media yang suka mempertontonkan kekayaan. fenomena semacam ini terjadi karena sosok tokoh mampu mewakili keterbatasan mereka terhadap konsep kemapanan.
Simulacra sangat terbuka diadopsi sebagai kritik sosial terutama pada era pasca-modern. Ketika konsep masyarakat yang ideal tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan yang ada, dunia veirtual muncul sebagai jawabnaya. Singgungan antara keduanya mampu melahirkan dunia yang hibrida. Simulacra tidak semata-mata memandang sinis, namun simulacra menjadi alternatif kritik pada fenomena ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H