Lihat ke Halaman Asli

Toleransi Beragama itu Bukan "Menggadaikan" Aqidah

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam kamus besar bahasa Indonesia toleransi berarti bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan kepercayaan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Dalam wikipedia Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya.[1] Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi "kelompok" yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi, baik dari kaum liberal maupun konservatif.

Mengakui eksistensi suatu agama bukanlah berarti mengakui kebenaran ajaran agama tersebut. Kaisar Heraklius dari Bizantium dan al-Mukaukis penguasa Kristen Koptik dari Mesir mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw, namun pengakuan itu tidak lantas menjadikan mereka muslim.
Seorang ahli tafsir klasik terkemuka mengatakan, “Din atau agama hanyalah satu, sementara syariat berbeda-beda. al-Syahrastani teolog Islam dan ahli terkemuka dalam perbandingan agama dalam Husein Muhammad menyampaikan pendapatnya, bahwa agama adalah ketaatan (al-Jaza), dan penghitungan pada hari akhir. Menurutnya, al-Mutadayyin (orang yang beragama) adalah orang Islam yang taat, yang mengakui adanya balasan dan perhitungan amal pada hari akhirat.
Artinya Toleransi dalam berkehidupan bermasyarakat tidak ada larangan dalam Islam, seperti menjenguk non muslim sedang sakit, ikut merasakan duka cita saat non muslim mengalami musibah (kematian, kelaparan, bencana alam, dll) dan banyak hal lain yang tidak menyinggung Aqidah kita, akan tetapi untuk mengucapkan Selamat Hari Raya dan ikut merayakannya, sebagian besar Ulama seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin (semoga Allah merahmati mereka) serta yang lainnya seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al Huqoil berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Raya Agama lain hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meredhoi adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya didalam pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka dan ini diharamkan.Diantara bentuk-bentuk tasyabbuh :
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.

Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka, menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan tersebut, tidak menolong seorang muslim didalam menyerupai perayaan hari raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus didalam ibadah mereka walau ada beberapa yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu.

Karena ketaatan kita terhadap Allah dan Rasul diatas toleransi itu sendiri, harusnya kita hindarkan untuk mengucapkan hari raya agama lain, apalagi ikut merayakannya. Karena ada pelanggaran Ketaatan (Al-Jaza) itu sendiri. Kenapa kita harus melanggar larangan Allah dan Rasulnya sehingga kita dianggap tidak taat, apalah artinya penghargaan orang lain jika kita dianggap tidak taat kepada Allah dan Rasulnya?sedangkan Hari Raya Agama lain cuma sekali dalam setahun walau dengan mengucapkan ataupun tidak mengucapkan orangpun akan cepat melupakannya. Lebih baik kita dianggap tidak toleran disisi manusia daripada kita dianggap tidak taat terhadap Allah dan Rasulnya. Karena ketaatan terhadap Allah dan Rasulnya diatas segala-galanya.

Al Qur’an maupun Sunah banyak menganjurkan kaum muslimin untuk senantiasa berbuat baik kepada semua orang baik terhadap sesama muslim maupun non muslim, diantaranya : surat al Mumtahanah ayat 8 diatas. Sabda Rasulullah saw,”Sayangilah orang yang ada di bumi maka yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. Thabrani) Juga sabdanya saw,”Barangsiapa yang menyakiti seorang dzimmi maka aku akan menjadi lawannya di hari kiamat.” (HR. Muslim)

Perbuatan baik kepada mereka bukan berarti harus masuk kedalam prinsip-prinsip agama mereka (aqidah) karena batasan didalam hal ini sudah sangat jelas dan tegas digariskan oleh Allah swt :

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾

Artinya : “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun : 6)

Berbuat kebaikan kepada mereka dalam hal ini adalah bukan dengan ikut memberikan selamat Hari Raya mereka dikarenakan alasan diatas akan tetapi dengan tidak mengganggu mereka didalam merayakannya (aspek sosial). Ada prinsip-prinsip agama dan keyakinan mereka yang tidak sama dengan Agama Islam.
Toleransi bisa dilakukan dengan banyak hal tanpa harus menggadaikan Aqidah dan keyakinan kita, karena Umat Muslim percaya dan meyakini Islam adalah agama yang diridhai Allah, sebagai Umat yang mengucapkan 2 kalimat syahadat berarti kita sudah meyakini bahwa kita adalah Agama yang benar dan harus taat/patuh mengikuti perintah Allah dan Rasulnya. Begitupun umat agama lain pasti akan meyakini bahwa mereka adalah Agama yang paling benar.
Dengan kita mengucapkan Selamat Hari Raya mereka artinya kita meyakini setidaknya membenarkan apa yang diyakini oleh Agama lain, berarti terdapat ketidakpatuhan dan ketidaktaatan atas apa yang Allah dan Rasul perintahkan dan terangkan di Al-Qur'an dan Hadist.
Tahap-tahap keimanan dalam Islam adalah:


  • Dibenarkan di dalam qalbu (keyakinan mendalam akan Kebenaran yang disampaikan)
  • Diikrarkan dengan lisan (menyebarkan Kebenaran)
  • Diamalkan (merealisasikan iman dengan mengikuti contoh Rasul)


Tingkatan Keyakinan akan Kebenaran (Yaqin) adalah:


  • Ilmul Yaqin (yaqin setelah menyelidikinya berdasarkan ilmu) contoh ---- seperti keyakinan orang amerika yang masuk islam setelah membuktikan AL QUR'AN dengan ILMU PENGETAHUAN
  • 'Ainul Yaqin (yaqin setelah melihat kebenarannya hasilnya baik berupa mu'zizat , karomah dll ) contoh ----- keyakinan Bani israil yaqin setelah melihat mu'zizat dari nabinya
  • Haqqul Yaqin (yaqin yang sebenar-benarnya meskipun belum dibuktikan dengan ilmu dan belum melihat kebenarannya) contoh ----- yakinnya para sahabat RA kepada nabi MUHAMMAD.SAW pada peristiwa ISRA' MIRAJ meskipun tidak masuk akal(berdasarkan ilmu) dan tidak seorang sahabat pun melihat kejadian itu , namun mereka tetap meyakini peristiwa itu


Dalam Tabligh Akbar dan Seminar yang di selenggarakan oleh Pusat Kajian Islam Universitas Ibn Khaldun (PUSKI) Ustadz Bernard Abdul Jabbar, mantan misionaris yang kini aktif di Dewan Dakwah Bekasi mengatakan banyaknya kaum muslimin yang terjebak dengan makna toleransi. Mereka berlomba-lomba memasang ucapan selamat hari raya umat agama lain, padahal itu bisa membatalkan akidah, keimanan seseorang.
Banyak yang bisa dilakukan Umat Islam dalam bertoleransi dengan pemeluk agama lain tanpa kita melanggar perintah Allah dan Rasulnya dengan Menggadaikankan Aqidah/Keimanan kita sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline