Lihat ke Halaman Asli

Awang Satyana: Ajip Rosidi: Hidup Tanpa Ijazah – Autodidak Ektrem

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Awang Satyana

AJIP ROSIDI: HIDUP TANPA IJAZAH – AUTODIDAK EKSTREM

Tulisan di bawah ini tidak memuat hal tentang geo-histori, tetapi patut kita kenal dengan baik kiprah2 seorang autodidak ekstrem semacam Ajip Rosidi - salah satu manusia langka di Indonesia. Semoga menginspirasi.

”Dalam membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah lebar. Dengan kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih berbobot. Kalau tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan menghargaiku sebagai pengarang. Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang diakui oleh masyarakat. Berapa banyak orang yang mempunyai ijazah tinggi dan menduduki jabatan penting dalam masyarakat tetapi tidak pernah memperlihatkan prestasi pribadi ?” (Ajip Rosidi, 1956, 16 tahun, saat memutuskan keluar dari Taman Madya/SMA)

Sebuah buku diterbitkan Pustaka Jaya lima tahun yang lalu, Januari 2008. Tebalnya setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. Meskipun tebal dan cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000. Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku yang dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini harga rata-ratanya sekitar Rp 50.000, dengan harga rata2 itu maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 300.000. Bagaimana buku setebal 1364 halaman dan dicetak di atas kertas bagus ini harganya hanya Rp 95.000 ?

Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam ”Ucapan Terimakasih”. Buku ini memang harga seharusnya adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk dibaca orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya sama sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100 orang dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus.

Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah ”Hidup Tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan”, sebuah otobiografi Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah dapat diterbitkan saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya ditulis sendiri, kalau dituliskan orang lain ya namanya biografi). Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya sekarang (70 tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga ia bisa menuliskan kembali peristiwa sehari-hari puluhan tahun ke belakang.

Mengapa Ajip memberi judul buku ini ”Hidup Tanpa Ijazah” ? Karena Ajip tak punya ijazah apa pun, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis (pelaku otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya. Itu semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan profesor pada umumnya.

Dalam tulisan ini, saya ingin menyoroti mengapa Ajip keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya, sepak terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu Ajip adalah manusia langka.

Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh pendidikan hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa Jakarta, itu pun tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari sekolahnya seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar. Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan itu harus di sekolah, tetapi belajar bisa di mana saja.

Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran soal-soal ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membeli soal ujian, guru-guru pun bisa disuap. Di koran-koran timbul polemik tentang manfaat ujian. Dipertanyakan tentang keabsahan ujian untuk menilai prestasi murid yang sebenarnya. Ajip muda (16 tahun) berkesimpulan: orang tidak segan melakukan perbuatan hina, membeli soal ujian atau menyuap guru demi lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ? Untuk dapat ijazah. Untuk apa ijazah ? Untuk melamar kerja. Untuk apa kerja ? Untuk dapat hidup. Kalau begitu, hidup berarti bergantung kepada secarik kertas bernama ijazah ! Ajip terkejut sendiri dengan kesimpulannya. Ia saat itu telah empat tahun berkarya (Ajip mulai mengirimkan tulisan2 cerita dan puisi dan dimuat di koran2 dan majalah2 sejak tahun 1952 saat umurnya masih 14 tahun) dan telah merasa bisa hidup cukup mandiri dengan honorariumnya. Ajip bertanya, apakah seorang pengarang membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline