Oleh : Wirol Haurissa
Hidup bagai roda yang terus berputar. Datang dari masa lalu ke masa kini dan terus ke masa depan. Matahari terbit dan tenggelam di Tanah Ambon. Banyak perjumpaan terjadi, kendati juga dibumbui suka dan duka.
Hari Rabu, 14 Desember 2011 pukul 23.00 malam, saya bersama John Lakburlawal, Alberth Akollo, Maryo Nussy, Rey Latumeten dikejutkan dengan info “keadaan Ambon memanas.”
Kami baru saja istirahat seusai membuat lukisan dinding di Kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon. Seorang Brimob yang berjaga di kampus bertanya kepada kami.
“Dong mau pulang ke mana ?”
“Maranatha,“ jawab saya.
Kami tahu, apa maksud Brimob tersebut. Saya dan teman-teman kemudian berjalan meninggalkan kampus di Jalan Ot Pattimaipau tersebut.
Kami melewati beberapa pos penjagaan aparat di Tanah Lapang Kecil. Nampaknya, penampilan aparat agak berbeda. Biasanya mereka duduk santai tanpa senjata di tangan. Malam itu, mereka berjaga menggunakan senjata lengkap. Semakin jelaslah bagi kami, bahwa malam ini, wer seng bae.
Di tengah jalan, dalam kegelapan malam dan warna temaram, kami merasakan ada ketegangan di berbagai tempat dalam kota. Terus terang, kami merasa takut juga berada di kota tercinta ini.
Tapi kami terus berjalan ke arah pertigaan Gereja Rehobot. Di sana, terlihat orang-orang berkelompok di sisi jalan. Wajah-wajah mereka sangat serius.
Kami berpisah di pertigaan Rehoboth. Saya tetap bersama John sedangkan Maryo, Alberth, dan Rey ke tempat tinggal mereka di Kudamati dan Air Salobar.