Lihat ke Halaman Asli

Setuju dengan Ahok Soal Pendidikan Karakter

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam pertemuan dengan beberapa orangtua siswa SMAN3 Jakarta baru-baru ini berkenaan dengan vonis hukuman percobaan terhadap tiga siswa yang melakukan penganiayaan, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) mengatakan bahwa pendidikan karakter lebih penting daripada ilmu pengetahuan. Ahok mengatakan bahwa orang Australia mengajarkan pendidikan baris-berbaris selama 12 tahun lamanya dan hasilnya terlihat masyarakat di Australia tertib untuk mengantri. Lebih lanjut Ahok bercerita bagaimana anak pertamanya dilecehkan oleh temannya sewaktu masuk di kelas 7 sebuah sekolah internasional di Jakarta yang bertarif 100 juta rupiah setahun sewaktu Ahok masih menjadi anggota DPR-RI beberapa tahun yang lalu.

Mulanya salah satu barang anak sulung Ahok diambil oleh temannya. Saat dilaporkan ke guru, tidak ada tindakan apa-apa. Akhirnya anak Ahok mengambil barang temannya yang berujung pada pemukulan anak Ahok oleh temannya sampai berdarah. Ini semua terjadi karena guru (sebagai pemegang otoritas keadilan sosial di sekolah) tidak peduli atau takut menghadapi siswa yang nakal. Jika terjadi pembiaran, maka siswa akan semakin nakal yang berujung pada tawuran. Lalu Ahok mencontohkan bagaimana seorang Guru di kampungnya dulu (Belitung Timur) membuat keputusan kontroversial sewaktu adiknya Ahok terlibat perkelahian satu kelas. Semua anak yang berkelahi TIDAK NAIK kelas, tidak peduli apakah nilai akademisnya bagus atau tidak. Sejumlah orangtua (termasuk ayah kandung Ahok) melakukan protes, tetapi sang guru tidak bergeming karena pendidikan karakter itu sangat penting. Kejadian ini membuat adik Ahok sukses kuliah baik di Universitas Indonesia maupun di University of Melbourne.

Saya sangat setuju degan pandangan Ahok mengenai pendidikan karakter sebagaimana yang diterapkan di Australia sini. Mulanya saya bingung sewaktu anak saya mulai sekolah dasarnya di Australian International School (AIS) di Jakarta tahun 2009. Pendidikan super mahal (bertarif sekitar 200 juta rupiah satu tahun yang hampir seluruhnya disediakan oleh Institusi dimana saya bekerja di Jakarta) mempunyai waktu bermain yang terlalu banyak dibandingkan waktu belajar jika dibandingkan pendidikan SD yang dulu saya terima. Kemudian kedua anak saya melanjutkan sekolah dasarnya di Australia sejak awal tahun 2013. Selain mengajarkan disiplin, sekolah juga tidak memberikan toleransi untuk bullying, berbohong, atau berkata kasar.

Minggu lalu sewaktu saya bersama istri dan anak-anak berbelanja di shopping mall, anak sulung saya (berusia 10 tahun) melihat seorang kakek yang baru saja selesai mengambil makanan pesanannya di gerai McDonald. Dengan kedua tangan penuh barang sambil berjalan, uang kembalian sang kakek jatuh ke lantai terdiri dari beberapa uang kertas dan logam. Anak saya langsung menghampiri kakek (yang berjarak sekitar 2 meter dari tempat kami duduk), membantunya mengambil uang dari lantai. Sang kakek mengucapkan terima kasih lalu memberi uang 2 dollar. Putri kami langsung menolak karena dia tidak mengharap pamrih karena membantu orang lain. Karena sang kakek memaksa, akhirnya putri kami bertanya bolehkah jika dia mendonasikan uang ini untuk gereja. Sebuah inisiatif dan pandangan yang boleh dibilang cukup sempurna untuk anak yang baru berusia 10 tahun.

Menurut anak saya, sekolah tidak memberikan toleransi untuk anak yang mencontek sewaktu ujian dengan alasan apapun juga. Ada suatu perasaan bersalah, jika anak yang mengetahui temannya nyontek lalu tidak melaporkan ini kepada guru. Memang benar, mencontek adalah mencuri. Yang pasti pendidikan karakter untuk jujur harus dimulai sedari kecil baik di rumah maupun sekolah. Mencontek tanpa dihukum di masa kecil maka anak tidak akan belajar pentingnya kejujuran sehingga ketika menjadi seorang pejabat dan berbuat korupsi maka dihalalkanlah semua cara agar bisa bebas. Para koruptor ini akan berpikir bahwa yang korupsi itu banyak, tapi yang ketahuan sedikit, tanpa rasa malu masih bisa senyum-senyum ketika sudah menjadi tersangka atau terdakwa sekalipun.

Saya sangat setuju dengan pentingnya pendidikan karakter yang juga diceritakan oleh Ahok. Saat membuka muktamar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) minggu lalu, Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) juga menyinggung mengenai pentingnya pendidikan karakter dimana proporsi ilmu pengetahuan di SD idealnya hanya 20% saja, lalu menjadi 40% di SMP, dan 80% di SMA/SMK. Pendidikan akhlak (begitu Jokowi menyebutnya) harus menjadi porsi utama di Sekolah Dasar. Memang benar, bahwa selain taat beribadah, karakter pekerja keras, jujur, pantang menyerah adalah karakter utama yang dibutuhkan bangsa Indonesia ke depan.

Selamat bekerja, Pak Presiden dan Pak Gubernur!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline