Inilah kisah seorang aktivis,
yang sedang kehilangan jati diri,
dan mengalami krisis "statusisasi"
yang sungguh tak terperi.
Aktivis di dalam puisi ini,
juga sedang dilanda galau hati,
karena "labil ekonomi"
di negeri yang sedang sakit ini.
Mau terus mengkritik,
takut dibilang nyinyir tak tahu diri,
tapi begitu berhenti mengkritik,
dituduh tak punya lagi rasa peduli.
Mau ikut demo berjuang di jalanan,
usia sudah tak muda lagi,
mau jadi politisi dan bertarung di Dewan Perwakilan,
sayangnya modal "money politics" tak mencukupi.
Semakin hari aktivis kita ini
Mau tetap jadi aktivis sudah punya anak bini,
mau memberontak angkat senjata
ternyata sudah bukan jamannya lagi.
Akhirnya da kesempatan kerja di NGO asing,
tapi langsung dituduh aktivis KAMMI dan HMI
sudah jadi agen negara asing,
dan makan uang Yahudi.
Stres, aktivis kita ini betul-betul tak tahu,
Mau kerja dengan pemerintah, pikiran tidak seideologi,
Mau jadi pedagang, proposalnya ditolak bank, tak ada yang bisa digadaikan,
maklumlah banknya setara rentenir yang cuma pro pegawai negeri.
Sebenarnya aktivis kita ini mau juga pulang kampung dan bertani,
Tapi tanah sudah habis dimiliki para petani berdasi hasil korupsi dan kolusi,
Mau jadi kontraktor tak pernah bisa lolos seleksi,
karena tender proyek sudah duluan dibagi-bagi, sesama konco para Bupati.
Kemanakah lagi ia harus pergi,
mau jadi preman jelas tidak punya nyali,
mau jadi perampok mentalnya nggak sampai hati,
soalnya sering ikut training HAM di dalam dan luar negeri.
Mau bagaimanakah lagi,
Semua jalan sudah ditelurusi,
berbagai upaya sudah dijalani,
tetapi aktivis kita ini tetap tak juga menemukan opsi
untuk tetap eksis dan berbakti kepada negeri.
Akhirnya kepada Anda yang sedang membaca puisi ini;
tolonglah, supaya aktivitis kita ini tidak mati berdiri,
atau ambil tali lalu bunuh diri.
Berikan sedikit rasa simpati.
Biar bagaimanapun juga,
toh dia pernah berbuat
bagi Ibu pertiwi.