Lihat ke Halaman Asli

Objektif Terhadap Prostitusi

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bila mendengar kata prostitusi pasti yang ada dalam benak kita ialah segala hal-hal kotor, menjijikkan, segala hal yang kaitannya dengan neraka atau syurga pada masyarakat agamawan. Lebih spesifik lagi kalau mengarah kepada pelaku yakni pelacur. Selalu di pandang sebagai wanita yang hina, jijik, kotor, tidak punya rasa malu, tidak tahu diri, dan lain sebagainya. Mungkin, pada satu sisi bisa dikatan, ya, namun bukan berarti kita punya hak untuk menghardik mereka secara subyektif dan selalu di generalisasikan. Kadang kala kita juga harus bisa bersikap lebih objektif lagi terhadap segala sesuatu hal.

Kita bisa menelaah dalam berbagai aspek untuk hal ini agar lebih objektif. Bisa kita melihat dari factor sejarah, bagaimana peran kerajaan membentuk sebuah paradigma negative terhadap perempuan (padakalaitu) dimana Islam belum masuk. Raja memiliki otoritas penuh dalam memenuhi keinginannya. Termasuk dalam memenuhi kepuasan dalam seksualitasnya. Raja yang dianggap sebagai wakil Tuhan yang dikenal dengan istilah Primus Interpares.

Memang bila di pandang dari sudut agama apa yang mereka lakukan itu memang salah dan termasuk dalam perilaku penyimpangan. Namun, kita juga perlu memandang lebih jauh lagi terhadap praktek mereka(pelacur). Jelas, tidak akan mungkin mereka melakukan itu dengan suka rela atau kesadaran dari lubuk hati yang paling dalam. Faktor yang jelas sekali muncul ialah himpitan ekonomi serta pendidikan. Walaupun ada sebagian yang secarasuka rela melakukan itu namun dalam lingkup yang berbeda misalnya, para remaja putri yang baru "ABG". Melakukan hubungan intim dengan pasangannya, itu kan juga termasuk tindak penyimpangan sosial. Setelah itu mereka ketagihan dan terus melakukan yang lebih dan lebih hingga sampai menggunakan tarif, maka hal ini bisa dikategorikan sebagai prostitusi atau pelacuran.

Nah, yang menjadi pertanyaan ialah, apakah prostitusi itu sebagai sebuah masalah atau anugrah ? Di satu sisi mereka akan menjadi "masalah" namun juga tidak jarang mereka menjadi "anugrah". Namun yang pasti, apa yang mereka lakukan termasuk penyimpangan sosial. Yang pasti kita tidak berhak menghardik mereka secara mentah dan di generalisir. Sikap objektif terhadap mereka perlu dilakukan. Jangan sampai kita menjauhi mereka, tetapi jauhilah perbuatannya.

Kita yang di luar area mereka, hanya tahu dari luar yang tidak tahu seperti apa kehidupan mereka sesungguhnya janganlah suka untuk melihat mereka sebelah mata. Dunia mereka ibarat panggung sandiwara yang harus mereka jalani baik dalam keadaan terpaksa maupun suka rela. Lantas apa bedanya dengan para politisi yang berwajah bidadari namun sebenarnya iblis. Itu semua karena simbol, kita terpaku pada covernya saja tidak mencoba untuk melihat isi dalamnya lebih baik dan komprehensif. Sekali lagi kita tidak berhak untuk menghardik mereka sesuka hati kita, padahal kita bisa saja lebih rendah dari mereka. Bukan bermaksud untuk mendukung adanya prostitusi, namun bagaimana kita objektif terhadap segala sesuatu yang terjadi di muka bumi. Belum tentu apa yang kita anggap rendah, jijik, memalukan, kotor, hina, akan selamnya buruk begitu juga sebaliknya. Semoga kita terjaga dari hal demikian. Dan menjadi manusia pembelajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline