Lihat ke Halaman Asli

Ideologi Ekonomi Manusia Rakus

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Opini

Ideologi Ekonomi Manusia Rakus

Ilmu ekonomi dibangun diatas 2 himpunan tujuan yang berbeda. Salah satunya disebut tujuanpositif, yang berhubungan erat dengan usaha realisasi secara efisien dan adil dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas. Dan tujuan yang lainnya disebut dengan tujuan normatif, yang diekspresikan dengan usaha penggapaian secara universal tujuan sosial ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan hidup, full employment, tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimal, distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, stabilitas ekonomi, keseimbangan ekologis dan semua hal yang meningkatkan keharmonisan sosial dan pengikisan anomie.

Namun secara umum disepakati bahwa negara-negara industri kaya juga belum mampu merealisasikan secara simultan semua tujuan normatif mereka, walaupun sumber daya ekonomi mereka telah tersedia dalam jumlah besar. Jika sebagian tujuan telah dicapai, hal tersebut diraih dari hasil pengorbanan sebagian tujuan yang lain. Semua bukti menunjukkan bahwa kesalahan telah semakin tampak dan membesar sesuai dengan berjalannya waktu. Ada dua alasan penyebab atas kesalahan ini: pertama, ketidakmampuan ilmu ekonomi konvensional memberikan pemecahan dalam bentuk mekanisme yang tepat untuk proses filterisasi, motivasi dan restrukturisasi; kedua, ketidakmampuan masyarakat itu sendiri untuk mengaplikasikan mekanisme tersebut secara efektif. Namun, pertanyaan tentang cara pengaplikasian mekanisme tersebut baru bisa dibangun apabila masyarakat sudah benar-benar yakin bahwa mekanisme yang dianjurkan adalah sebuah mekanisme yang tepat untuk merealisasikan tujuan-tujuan normatif. Apakah mungkin mekanisme yang dianjurkan oleh ilmu ekonomi konvensional tidak selaras dengan tujuannya sendiri?

Singapura misalnya, walaupun mengklaim dirinya sebagai prototype sukses sebuah negara di kawasan asia tenggara yang paling bersih dari kasus korupsi (survei PERC). Namun variabel moral hazard yang lain seperti money laundry koruptor negara lain, mengeruk pasir negara tetangga, mencaplok zona ekonomi eklusif negara sekitar, sampai pada menganiaya TKI yang dianggapnya manusia rendahan, tidak mampu mereka atasi dan bahkan mereka lindungi atas dasar kepercayaan yang mereka pegang,yang disinyalir darifilsafat sosial Darwinisme yang merupakan kepanjangan tangan dari prinsip-prinsip kelangsungan hidup yang lebih baik dan seleksi alam Darwinisme kepada tatanan masyarakat. Penerapan filasafat tersebut dengan kurang hati-hati akan mensahkan konsep “kekuatan adalah kebenaran” secara terselubung dalam tatanan hubungan kemanusiaan dan antar negara, sehingga negara miskin dan tertindas dipersalahkan oleh karena kemiskinan dan kesengsaraan yang menimpa diri mereka sendiri. Menghilangkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan dalam sistem yang ada.

Perlu diketahui bahwa ketergantungan kita dengan Singapura maupun sebaliknya sangat tinggi. Namun kalau kita mau berbicara jujur, bukan dalam bentuk simbiosis mutualisme, melainkan simbiosis semi-parasitisme. Apabila Indonesia tetap dalam kondisi labil dan uncertainty (ketidakpastian) terutama dari sisi politiknya, selama tidak mengganggu investasi, regulasi yang bisa disuap, dan mengutak-atik kebijakan pasar modal, mereka bisa saja mengambil keuntungan dari situasi ini. Teorinya sederhana, pemerintah yang berkuasa haus akan dana untuk pembiayaan, sedangkan cara yang paling mudah adalah dengan utang dan privatisasi yang berpotensi menimbulkan financial distress (kesulitan keuangan) dalam negeri. Mereka sebisa mungkin akan mempertahankan status quo dengan situasi ekonomi makro yang terombang-ambing bak kata pepatah “hidup segan mati tak mau”.

Term inflasi-deflasi menjadi faktor x dalam kasus ini. Inflasi-deflasi bukan hanya kata yang memiliki arti, atau penjabaran suatu fenomena ekonomi suatu negara. Tetapi lebih dari itu, merupakan kunci/alat yang mampu merubah situasi dari mainstream yang satu ke mainstream yang lain. Sederhananya, Inflasi tidak sekedar menaikkan harga komoditas di masyarakat, tapi jugamampu memperlebar dan mengatur jurang (gap) antara kaya dan miskin. Selama si kaya yang cenderung akan semakin kaya tetap konsumtif dan mau membeli barang-barang impor atau berbelanja langsungke luar negeri, dan si miskin yang dalam ketersempitan ekonomi dan keterbatasan pilihan hidup mau tidak mau rela untuk menjadi tenaga kerja dengan upah rendah, bisa kita tebak siapa dan negara hedonis terdekat mana yang paling diuntungkan dalam hal ini.

Pemerintah dan para ahli ekonomi bukannya tak paham akan hal itu, tetapi mereka bisa jadi terbagi dalam 2 ekstrem yang berbeda. Pertama, tahu betul arti dari interdependency effect (efek ketergantungan) dan masih menjajaki kemungkinan yang paling baik untuk soft landing dan going concern bangsa ke depan. Karena bukan rahasia umum lagi, bila saja negara kapitalis kuat seperti Amerika, Jepang, Singapura dan lainnya yang banyak menanamkan modal di sini, mencoba-coba menarik dananya dengan alasan ketidaksetujuan akan sesuatu atau hal-hal yang lain, bisa-bisa ibadah puasa nabi Daud (sehari makan, sehari puasa) menjadi trend gaya hidup. Kedua, terlanjur hidup dalam tingkah laku rational economic man yang termotivasi keinginan untuk memenuhi kebutuhan personal, maksimalitas kesenangan dan semua kenikmatan fisik dengan cara memaksimalkan kekayaan pribadi dankonsumsi dengan cara apapun, sehingga cenderung ogah untukkembali membumi (down to earth). Persis seperti teori tear drop effect-nya ekonomi klasik, mereka percaya, toh kalau kita tidak berusaha konsumtif, ujung-ujungnya masyarakat kecil juga yang kelimpungan.Semua aspek yang meningkatkan persatuan manusia, seperti kerjasama, kasih sayang, persaudaraan dan altruismeyang biasa dilakukan dalam masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain, walau dengan mengorbankan keinginan diri pribadi telah diabaikan sama sekali. Kalaupun hal-hal itu dilakukan, wajib ada timbal balik, paling tidak insentif ekonomi ataupun kesempatan untuk menambah popularitas lewat invasi profil mereka di media. Jiwa-jiwa opurtunis semacam ini disadari atau tidak sudah melanda beberapa birokrat dan politisi Indonesia. Coba saja terapkan ilmu komparabilitas pada perilaku dan janji kampanye mereka, sebelum, sesudah dan realisasinya. Jawaban apa yang anda dapat?

Filsafat materialisme ini melanda hampir di semua lapisan masyarakat termasuk perbankan dengan lebih suka memanfaatkan interest gap lewat penyertaan dana antar bank ketimbang harus memberikan kredit ke UMKM yang beresiko tinggi. Bahkan tanpa anda sadari, mungkin anda juga bagian dari sistem ini yang membuatnya berjalan dengan sempurna.Tak terkecuali para akademisi, penulis ingat betul poling yang dulu pernah dibuat oleh BEM KM UGM tempat dimana saya berkuliah. Disitu ditanyakan kepada para mahasiswa, “bila anda diberikan kesempatan untuk mengebom suatu tempat, tempat mana yang anda pilih?” dan jawaban mayoritas dari mereka, adalah Fakultas Ekonomi UGM. How could it be!? Ternyata alasannya sederhana, karena di tempat inilah diindikasikan oleh mereka lahirnya agen-agen neo-liberal dan mafia kerah putih lisensi dari Berkeley.

Kebebasan berwacana seperti itu patut dihargai. Bukannya mau menghina institusi kampus yang sangatdibanggakan negeri ini, namun sebagai kritik membangun karena setiapmanusia suatu waktu perlu bercermin pada diri sendiri. Sudah rapikah anda? Atau mulut anda masih belepotan karena saking rakusnya..

Rahmat Wiranata Pris Kayadoe

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline