Lihat ke Halaman Asli

Wira Krida

Praktisi Komunikasi dan Farmasi

Nebeng Jet Pribadi

Diperbarui: 22 September 2024   08:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nebeng didefinisikan sebagai tindakan menumpang atau ikut bepergian tanpa membayar. Biasanya, istilah ini digunakan dalam konteks transportasi, seperti seseorang yang nebeng naik motor atau mobil teman. Namun, apakah makna nebeng tetap sama ketika yang digunakan bukan sekadar motor atau mobil, melainkan jet pribadi?, sangat menarik untuk diulik lebih dalam!

Namun, meski secara harfiah maknanya sama, "nebeng" naik motor dan "nebeng" jet pribadi memiliki konotasi yang sangat berbeda. Nebeng motor cenderung dipandang sebagai tindakan wajar atau bahkan sopan santun dalam masyarakat, terutama jika dilakukan dalam situasi saling membantu, saling tolong menolong antar teman. Sebaliknya, "nebeng" jet pribadi sering diasosiasikan dengan upaya menunjukkan status sosial atau gengsi, khususnya ketika dilakukan oleh anak-anak pejabat atau individu berpengaruh.

Di balik fenomena ini, ada pertanyaan besar terkait motivasi dari tindakan tersebut: Apakah hanya sekadar praktis, situasi yang kompleks untuk dijelaskan, atau ada niat untuk memperlihatkan status sosial? Apakah tindakan ini menunjukkan adanya kesombongan atau sekadar kesempatan yang diambil? Semua ini patut dipertanyakan dalam konteks sosial dan ekonomi.

Tinjauan Teoritis: Teori Konsumsi dan Status Sosial

Untuk memahami fenomena "nebeng" jet pribadi, kita bisa menggunakan teori konsumsi dan status sosial sebagai landasan teoritis. Salah satu teoritisi yang banyak membahas ini adalah Thorstein Veblen dengan konsep "The Theory of the Leisure Class" yang memperkenalkan istilah "consumption conspicuous" atau konsumsi mencolok. Menurut Veblen, konsumsi barang-barang mewah sering kali lebih didorong oleh keinginan untuk menunjukkan status sosial daripada kebutuhan nyata.

Dalam konteks "nebeng" jet pribadi, teori ini relevan karena tindakan tersebut bisa dianggap sebagai bentuk konsumsi mencolok. Jet pribadi adalah simbol kemewahan dan prestise, dan "nebeng" di dalamnya dapat dianggap sebagai cara untuk memperlihatkan afiliasi sosial atau keterkaitan dengan kalangan elit. Ini memberikan keuntungan sosial bagi yang "nebeng," yang mungkin ingin menunjukkan bahwa mereka juga memiliki akses ke dunia yang eksklusif.

Tinjauan Praktis: Kesesuaian dengan Kondisi Indonesia

Secara praktis, kita bisa melihat bahwa Indonesia adalah negara dengan ketimpangan ekonomi yang cukup besar. Meski ada sebagian kecil populasi yang sangat kaya, mayoritas masyarakat masih hidup dalam keterbatasan ekonomi. Dalam konteks ini, fenomena "nebeng" jet pribadi bisa menjadi kontroversial, terutama ketika dilihat oleh masyarakat luas yang menghadapi kesulitan ekonomi.

Jika merujuk pada teori konsumsi mencolok yang dijelaskan sebelumnya, "nebeng" jet pribadi bisa diartikan sebagai tindakan untuk mempertegas kelas sosial, sebuah bentuk pamer status yang tidak selalu sesuai dengan norma kesederhanaan yang dihargai dalam budaya Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis: Apakah tindakan ini dilakukan sekadar untuk praktis, atau lebih kepada untuk memperlihatkan prestise, pengaruh dan kekayaan yang dimiliki?

Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa selama fasilitas tersebut tersedia dan tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan, maka tindakan "nebeng" jet pribadi ini seharusnya tidak menjadi masalah besar. Namun, dalam konteks ketimpangan sosial dan ekonomi yang sangat nyata di Indonesia, tindakan seperti ini bisa dengan mudah dipersepsikan sebagai kurang sensitif terhadap kondisi masyarakat luas.

Kalangan elite memiliki kebiasaan dan cara hidup yang berbeda dengan masyarakat umum. Mereka yang hidup di lingkungan dengan akses yang mudah terhadap jet pribadi dan kemewahan hidup lainnya mungkin memandang tindakan tersebut sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, untuk masyarakat luas, terutama di Indonesia, fenomena ini tetap menciptakan ketidakseimbangan dan bisa membangkitkan rasa tidak adil dan menjadi bahan konten di media sosial yang memuat sindiran ke kalangan elite sebagai luapan rasa kesal masyarakat kepada kaum elitenya yang terlihat tidak sensitive dengan kondisi bangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline