Dalam kehidupan sehari-hari, ketupat dan lontong tampak seperti makanan sederhana. Namun, siapa sangka kedua kudapan ini memiliki makna yang begitu mendalam dalam konteks budaya dan sosial, khususnya di Yogyakarta.
Artikel ini akan mengungkap bagaimana ketupat dan lontong tidak hanya sekadar makanan tak berarti apapun, tetapi merupakan sebuah simbol kedamaian dan harmoni di tengah hiruk-pikuk pusat wisata seperti Jalan Malioboro.
Ketupat dan lontong mampu menjadi jembatan antara berbagai jenis makanan, dari yang dianggap sebagai makanan utama hingga camilan, menciptakan sebuah ruang harmonis yang dirasakan baik oleh warga lokal maupun wisatawan.
Peran Ketupat dan Lontong dari Sisi Historis dan Budaya
Ketupat dan lontong telah menjadi bagian integral dari budaya kuliner di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Keduanya memiliki latar belakang sejarah yang panjang, sering kali disajikan dalam upacara adat atau perayaan keagamaan. Ketupat, yang melambangkan kesucian dan keterikatan sosial, sering kali ditemukan dalam perayaan Lebaran Umat Islam.
Sementara itu, lontong lebih fleksibel dalam penggunaannya, mulai dari sajian sehari-hari hingga makanan pendamping dalam acara-acara besar, berbeda dengan Nasi yang merupakan makanan utama.
Seiring berjalannya waktu, keduanya tidak hanya berfungsi sebagai makanan, tetapi juga sebagai simbol kerukunan antar masyarakat yang datang dari latar belakang berbeda.
Di tengah gemerlap wisata di Yogyakarta, khususnya di Jalan Malioboro, kita dapat melihat ketupat dan lontong menjadi penanda batasan antara makanan utama dan camilan, namun tetap bersatu dalam keberagaman sajian.
Analisis dengan Teori Komunikasi Antarbudaya
Melalui perspektif komunikasi antarbudaya, ketupat dan lontong dapat dipandang sebagai alat komunikasi tak langsung yang merepresentasikan harmoni dan toleransi antar kelompok masyarakat.
Di Yogyakarta, khususnya di Malioboro, kita melihat adanya interaksi budaya antara puluhan ibu - ibu pedagang sate ayam yang menyajikan lontong dan ketupat yang berfungsi sebagai pendamping atau biasa disebut camilan dengan pedagang gudeg yang biasanya menggunakan nasi yang memiliki peran sebagai menu utama.