Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (Second)

Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Mengapa Kita Berkhianat?

Diperbarui: 17 April 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Dalam pergaulan sehari-hari kita sering mengalami berbagai pengkhianatan yang datang dari teman maupun kolega-kolega kita. Secara  natural dan hukum sebab-akibat, orang yang berkhianat kepada kita, pastinya diawali dengan perbuatan kita sendiri, yang juga pernah melakukannya kepada orang lain, untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan kelompok kita. Namun secara empiris, lebih dapat dijelaskan bahwa sebenarnya yang dikhianati itu adalah diri kita sendiri. Postulatnya adalah, ketika kita mengkhianati orang lain, berarti kita mengkhianati diri sendiri. Ketika kita berbuat jahat pada orang lain, berarti kita berbuat jahat pada diri sendiri. Bagaimana membuktikannya ? mudah saja, dengan cara mengalaminya. Ketika kita mengalami sendiri berbuat jahat pada orang lain, lihat apa yang terjadi !

Disadari atau tidak, dipahami atau memang karena tidak tahu. Perbuatan jahat maupun perbuatan baik memiliki konsekuensinya dalam kehidupan manusia secara individual. Mengapa masih ada orang yangberbuat pada sesamanya? Padahal konsekuensinya tidak menunggu kita mati. Mengapa kita juga melakukan pengkhianatan kepada sesama kita? Mengapa manusia menciptakan penderitaan bagi manusia lainnya, dan juga bagi banyak mahluk hidup lainnya? Jawabannya hanya satu, yakni delusi (khayalan/angan-angan), atawa kesalahan berpikir tentang kehidupan.

Delusi atau khayalan yang pertama adalah ternyata sebagian besar kita merasakan sesuatu yang kurang dalam hidup ini. Kita merasa, bahwa kita tidak dapat hidup, jika tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Kita juga merasa, bahwa kita tidak bisa bahagia, jika tidak memiliki uang banyak untuk membeli barang-barang yang kita anggap prestise. Perasaan kurang semacam ini menghantui begitu banyak orang, hampir sepanjang hidupnya.

Orang menyebutnya dengan berbagai kalimat atau kata-kata. Ada yang bilang, mereka mencari kebahagiaan. Ada yang bilang, mereka mencari makna di dalam hidupnya. Ada pula yang bilang, mereka mengalami krisis tujuan hidup. Semua menunjuk pada satu keadaan, dimana perasaan kekurangan itu berdiri kokoh di dalam batin. Kitapun mencari cara, guna mengisi kekurangan atau kekosongan batin tersebut. Lantas, kita melihat ke luar dirinya. Seperti, narkoba, seks, mistik dan konsumtivisme menjadi alternatif. Namun, semuanya tetap tak bisa mengisi kekosongan batin yang ada. Penderitaan pun semakin berlanjut.

Di dalam proses pemenuhan kekurangan, dimana keadaan telah menjadi sedemikian rumit, maka kita tak segan-segan menyakiti orang lain. Untuk mempertahankan gaya hidup konsumtif, sebagai pelarian dari kekosongan batin yang dirasakan, kita bersedia korupsi. Bahkan, kitapun bersedia membunuh orang lain, sekedar pemenuhan kepuasan sementara. Pada akhirnya, masyarakat kita dipenuhi dengan orang-orang yang menderita secara batiniah, dan kemudian saling menyakiti satu sama lain.

Inilah yang sekarang ini terjadi di sekitar kita. Banyak orang hidup dalam kesalahpahaman mendasar, bahwa mereka bisa mendapatkan kepenuhan hidup dengan mencari kepuasaan dari benda-benda di luar dirinya.

Selanjutya, yang kedua adalah cara berpikir yang didorong oleh keterpisahan kita, sebagai manusia. Salah satu racun paling mematikan dari filsafat barat adalah pandangan, bahwa manusia adalah mahluk individualistik yang terpisah dari manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Pandangan ini menyebar begitu luas ke berbagai belahan dunia melalui proses kolonisasi/penjajahan di masa lalu, dan proses globalisasi di masa sekarang. Media cetak dan elektronik (terutama teknologi digital) berperan besar di dalam menyebarkan pandangan ini.

Khayalan tentang keterpisahan manusia ini juga menjadi akar dari segala bentuk diskriminasi dan pengejaran kepentingan pribadi tanpa henti. Hal ini kemudian mendorong adanya dominasi terhadap sesama, dan menjadi akar dari sebaga bentuk deviasi perlaku manusia, yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang wajar.

Ketika kekosongan batin masih berdiri kokoh di dalam diri kita, maka kita bisa menjajah dan menguasai orang lainnya. Namun, bathin kita tetap akan merasa menderita. Khayalan tentang keterpisahan manusia ini akan mendorong kita masuk ke dalam kesepian dan kekosongan batin yang lebih dalam, walaupun kita memiliki uang, kekuasaan, nama besar dan beragam barang mewah lainnya.

Selain merusak diri sendiri dan orang lain, kekosongan bathin yang ada dalam diri kita, akan menghancurkan alam. Hutan dibabat untuk membangun perumahan mewah. Laut direklamasi untuk membangun kota mewah. Gunung diratakan untuk memperoleh emas. Lalu, kita melihat diri kita sebagai sesuatu yang terpisah, sekaligus lebih tinggi dari alam dan semua mahluk hidup lainnya. Kita merasa punya hak untuk menguasai dan menghancurkan semuanya, guna memenuhi keinginan dan kerakusan kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline