Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (Second)

Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Sejatinya Kita Tak Pernah Mampu Memahami Kebenaran

Diperbarui: 17 Oktober 2017   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra.

Kebenaran merupakan hal penting dalam hidup setiap orang. Tidak ada orang yang mau hidup dalam kebohongan dan kepalsuan. Mereka menginginkan dan mencari kebenaran. Semua keputusan dalam hidup mereka, sedapat mungkin, didasarkan atas kebenaran. Namun, sayangnya, ketika kebenaran itu mereka peroleh, maka lahirlah orang-orang yang merasa paling benar. Dan, menganggap orang lain salah, alias tidak benar?!.

Dalam sisi kehidupan lainnya, kita selalu mendapati, bahwa menjadi orang benar itu juga tidak selalu beruntung. Seringkali, orang justru jadi terpuruk gara-gara berkata benar. Orang baik tidak selalu mendapatkan kebaikan dari dunianya. Sama seperti, orang jahat tidak akan selalu mendapatkan kejahatan sebagai imbalannya.

Kita juga mendapati bahwa orang jujur tidak otomatis akan selamat. Sebaliknya, orang tidak jujur tidak otomatis mendapatkan jahat. Akan tetapi, orang baik juga tidak otomatis mendapatkan jahat, sama seperti orang jahat tidak otomatis mendapatkan baik. Ada ketidakpastian yang membuat kita selalu merasa menderita. Pertanyaan yang munculadalah, di tengah orang jahat, beranikah kita menjadi orang baik? Beranikah kita berkata benar, ketika semua orang memaksa kita untuk mengatakan yang dikatakan oleh kelompok itu ?.

Seorang filosof, Solomon Ash, sudah mencoba menelitinya dengan pertanyaan yang cukup secerhana, yakni apakah orang di dalam kelompok berani menyatakan pendapatnya yang obyektif benar, jika semua orang lainnya memberikan jawaban yang salah? Apakah orang berani menyatakan pendapatnya yang benar, di tengah orang-orang yang sengaja salah, dengan tidak merasakan keresahan ?

Berdasarkan penelitiannya, Asch menemukan bahwa ada sekitar 37 persen orang memberikan jawaban yang salah, alias sama seperti anggota kelompok lainnya. Artinya, suara atawa kata kelompok mampu memaksa seseorang meragukan pendapatnya sendiri. Walaupun ia tahu bahwa pendapat kelompok tidak benar, orang bisa saja melakukan penyesuaian-penyesuaian, dengan mengkhianati dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena orang takut dianggap pengkhianat. Ia takut dicap sebagai pemberontak yang laknat. Akibatnya, orang kehilangan pendapat orisinalnya. Kata kelompok mendikte kata hatinya. Orang takut berkata benar, karena keselamatan diri menjadi taruhannya ?!.

Sementara itu, Jacques Derrida, seorang filsuf Prancis di abad 20, memberi pengertian menarik tentang sebuah kebenaran. Baginya, kebenaran selalu terkait dengan proses dekonstruksi. Kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak dan tetap, melainkan bergerak sejalan dengan perubahan kenyataan itu sendiri. Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa dekonstruksi merupakan sebuah teori tentang kebenaran.

Derrida berpendapat, bahwa simbol dan bahasa yang kita gunakan sehari-hari tidak otomatis mewakili suatu kenyataan. Simbol dan bahasa tersebut merupakan suatu sistem mandiri yang kita bangun lewat pikiran dan komunikasi. Oleh karena itu, Derrida kemudian mencoba melampaui sudut pandang ilmu pengetahuan dengan melihat ke sisi lain dari kenyataan, yakni sisi dekonstruksi.

Dekonstruksi adalah metode yang digunakan oleh Derrida untuk menekankan, bahwa bahasa dan simbol tidak pernah bisa mewakili kenyataan yang ada. Keduanya bersifat ambigu dan tidak pasti. Dekonstruksi sebenarnya sudah selalu berada di dalam teks. Ia berada dalam bentuk ketidakpastian yang mengaburkan makna teks, dan membuatnya terbuka untuk berbagai kemungkinan tafsiran.

Dari titik inilah,  maka teks itu sebenarnya tidak hanya berarti tulisan, tetapi juga kenyataan itu sendiri. Bahasa dan simbol adalah alat-alat yang digunakan oleh pikiran manusia untuk memahami kenyataan. Karena bahasa dan simbol selalu berubah dan tidak pasti, pemahaman kita akan kenyataan pun selalu berubah dan tidak pasti pula. Ketidakpastian ini juga sudah tertanam di dalam bahasa dan simbol yang kita ciptakan.

Ketika kita menganggap bahwa bahasa dan simbol merupakan sebuah kenyataan, maka kita akan banyak mengalami delusi atau kesalahpahaman terhadap kenyataan itu sendiri. Delusi ini merupakan kondisi pikiran seseorang yang tidak beres, akibat dari keterbatasan-keterbatasannya, karena  berdasarkan   suatu  keyakinan  palsu dan lain-lain. Seseorang tidak lagi mampu menggunakan akal sehatnya, dan tidak ada dasar kenyataan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline