Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (Second)

Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Memenjarakan Persepsi dengan Berita Bohong?

Diperbarui: 3 Desember 2015   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Berkembangnya media sosial di masyarakat kita, telah melahirkan banyak profesi dan aktivitas yang mampu merubah, bukan hanya sikap, perilaku dan pandangan hidup masyarakat, tapi juga mampu merubah pola pikir, paradigma bahkan idiologi. Media sosial ini digunakan sebagai aktivitas pergaulan, aktivitas ekonomi, sosial, budaya, politik dan bahkan Hankam. Para aktivis medsos ini,  mulai dari para pemasar dirinya sendiri, makanan dan kue-kue, sampai dengan para internet marketer. Mulai dari ibu rumah tangga sampai ibu-ibu yang masih sibuk menemukan tambahan hati ?! Mulai dari aktivis tulen medsos sampai para pembuat berita bohong. Dan lain sebagainya.

Ekses negatif dari maraknya, aktivitas calistung (Baca, Tulis dan Berhitung) di status Medsos ini,  maka para pembuat berita bohongpun marak bermunculan. Sayangnya masyarakat kita tidak diajarkan berpikir kritis, sehingga jika saja ada berita yang dianggapnya menarik dan kontroversial, langsung saja di copy-paste dan disebarkan ke mana-mana, tanpa analisa dan bukti-bukti yang memadai. Sehingga, pencemaran nama baik, saling menghina, merendahkan martabat orang lain, dan lain-lain, menjadi pemandangan sehari-hari.

Dalam tulisan saya terdahulu, saya mengatakan bahwa sudah menjadi hukum persepsi, bahwa apa yang kita lihat dan dengar sehari-hari adalah sesuatu yang hanya bisa menyenangkan pikiran kita saja. Namun, dalam hal komoditas pemberitaan, justru sesuatu yang buruk dan tidak lazimlah, yang mampu menjadi sebuah berita. Para penulis berita bohong pada awalnya hanya iseng-iseng siapa tahu ada yang meresponnya?! Namun lama-kelamaan menjadi sering dan menyenangkan. Karena, kemudian menjadi trending topic dan menjadi opini publik yang ramai dibicarakan.  

Para pembuat berita bohong ini tentu menyadari bahwa apa yang ia tulis itu akan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat. Sehingga, muncullah motif-motif baru dalam metode pembuatan berita-berita bohong itu. Dan ternyata, berita-berita bohong itu sangat berguna untuk tujuan-tujuan promosi produk, politik (khususnya pencitraan), bahkan pertahanan dan keamanan. Para pembuat berita bohongpun sekarang menjadi profesi yang sengaja direkrut oleh lembaga-lembaga resmi maupun ilegal, pemerintah maupun non pemerintah, dan bahkan lembaga negara maupun swasta. Tujuannya, tidak lain dan tidak bukan, adalah untuk mempengaruhi persepsi dan perspektif masyarakat.

Referensi dan dasar pemikiran para pembuat berita bohong ini, antara lain begini, jika ada anjing menggigit manusia, itu lazim terjadi, dan ini bukanlah sebuah berita. Tapi, bila manusia menggigit anjing maka itulah yang dianggap berita. Jadi, yang dimaksud suatu berita adalah sesuatu yang tidak lazim, atawa tidak wajar terjadi. Dari titik inilah, maka berita-berita bohong menjadi lebih mempesona untuk dibaca dan dinikmati ?!. Apalagi jika ditujukan sebagai upaya untuk menyebar kebencian, hal ini menjadi sangat signifikan.

Dengan demikian, tidak salah jika saya mengatakan bahwa nyaris seratus persen berita di dunia maya isinya adalah kebohongan-kebohongan, dan herannya masyarakat kita lebih suka dibohongi daripada diberikan suatu kebenaran. Lebih  menyukai berita kontroversial daripada yang datar-datar saja, dan dengan begitu maka masyarakat kita akan termarginalisasi atawa terbodohkan dengan sendirinya Sikap kritis hilang, dan nyaris menjadi fanatik dengan hal-hal yang berbau kontroversial. Sungguh, sangat disayangkan ?!.

Kita juga menyadari, bahwa setiap berita itu selalu menyimpan citra, artinya upaya mengemas persepsi orang untuk sebuah simpulan yang telah ditetapkan.  Oleh karena itu, citra memang bukan fakta sebenarnya.Tapi, perannya tetaplah penting, terutama di dunia digital yang sekarang ini mengepung hidup kita. Citra menentukan sikap orang lain pada kita. Citra juga mempengaruhi selera massa, yang akhirnya berpengaruh langsung pada keberhasilan seseorang, atau bahkan keburukan sesorang.

Sebagai contoh saja, ketika media menyebarkan berita, bahwa Gojek yang sebelumnya menjadi sebuah alternatif untuk transportasi yang aman dan bisa menambah penghasilan, maka semua orang memuji-muji alternatif transportasi Gojek ini, ketimbang lainnya. Namun, ketika media menyebarkan informasi, bahwa Gojek sudah tidak aman lagi, bahkan cenderung memeras si Tukang ojeknya maka orang berbondong-bondong tidak lagi menyukai transportasi Gojek ini, dan meninggalkannya

Ternyata, media sendiri tidaklah pernah netral. Media selalu merupakan corong dari kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam banyak hal, media justru melestarikan keadaan sosial tertentu yang tidak adil. Dengan kata lain, media kerap menjadi kaki tangan para penguasa atawa pengusaha-pengusaha yang membayarnya sebagai perpanjangan mulut mereka.

Dengan pola ini, media juga merugikan kepentingan pihak lainnya. Media meminggirkan kepentingan dan aspirasi dari kelompok tertentu di dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini biasanya menjadi kambing hitam atas segala permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Mereka biasanya kaum minoritas yang tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, serta terjebak dalam kemiskinan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline