Oleh. Purwalodra.
Sudah menjadi hukum persepsi, bahwa apa yang kita lihat dan dengar sehari-hari adalah sesuatu yang hanya bisa menyenangkan pikiran kita saja. Namun, dalam hal komoditas pemberitaan, justru sesuatu yang buruk dan tidak lazimlah, yang mampu menjadi sebuah berita. Anekdotnya begini, jika ada anjing menggigit manusia, itu lazim terjadi, dan ini bukanlah berita. Tapi, bila manusia menggigit anjing maka itulah yang dianggap berita. Sama halnya, seorang janda berselingkuh dengan laki-laki beranak tiga, ini bukan berita.Tapi jika seorang suami beranak tiga selingkuh dengan wanita yang mengaku gadis, nah lho ini mungkin baru berita ?!. Jadi bisa jadi, yang dimaksud suatu berita adalah sesuatu yang tidak lazim, atawa tidak wajar terjadi.
Komoditas suatu pemberitaan, tentu memiliki tujuan untuk disampaikan kepada orang lain. Tapi, terkadang judul pemberitaan itu dibuat untuk menarik minat orang untuk membacanya, sehingga judul suatu berita itu dibuat tidak lazim, yang membuat orang penasaran untuk kemudian membacanya. Namun, yang tidak kalah penting adalah, bahwa setiap berita itu selalu menyimpan citra, artinya mengemas persepsi orang untuk sebuah simpulan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, citra memang bukan realita.Tapi, perannya tetaplah penting, terutama di dunia digital yang sekarang ini mengepung hidup kita. Citra menentukan sikap orang lain pada kita. Citra juga mempengaruhi selera massa, yang akhirnya berpengaruh langsung pada keberhasilan seseorang, atau bahkan keburukan sesorang.
Biasanya, citra boleh-jadi merupakan abstraksi dari suatu realita. Namun, ia bukanlah realita itu sendiri. Citra dibangun di atas sekumpulan informasi yang diperoleh dari sumber-sumber tertentu. Seringnya, informasi-informasi tersebut tidak sepenuhnya sesuai kenyataan, atau memiliki kebohongan.
Biasanya juga, citra itu berpijak pada persepsi. Persepsi tersebut dibangun diatas bayang-bayang realitas. Bayangan tersebut lalu menjadi semacam penuntun cara berpikir dan cara bertindak yang tidak disadari. Orang menjalani hidupnya dengan berpijak pada persepsinya terhadap kenyataan tersebut. Dan, ternyata realita yang sesungguhnya, dalam konteks ini, berada di luar genggaman tangan kita. Realita itu berada di luar dan melampaui persepsi. Pada titik ini, kita perlu berpikir terbalik. Persepsi justru bertentangan dengan kenyataan. Jadi, anggapan yang ada di kepala justru harus dilihat terbalik dari kenyataan yang ada ?!
Agar kita tidak terjebak pada persepsi kita yang sering salah itu, maka kita perlu mengembangkan sikap kritis pada apapun dan siapapun, yang menjadi sebuah ‘berita’ dari suatu media atau orang lain. Di tingkat pertama dan terpenting, kita perlu kritis pada selera kita. Kita perlu sadar, selera dan cara berpikir kita dibentuk oleh kepungan media di sekitar kita. Dalam banyak hal, kita perlu untuk menolak selera kita, dan melihatnya semata sebagai ilusi.
Selanjutnya, kritis pada selera berarti juga kritis pada persepsi. Persepsi adalah kesan dan bayangan kita akan sesuatu yang tak selalu mencerminkan realitas. Maka, persepsi pun perlu ditunda kepastiannya, dan diuji keabsahannya. Persepsi harus dilihat sebagai salah atawa ilusi, sampai terbukti sebaliknya?!.
Suatu ‘berita’ baik dari sebuah media maupun dari seseorang, bukanlah sebuah realita. Justru sebaliknya, kita harus mencermati berita-berita tersebut secara terbalik, karena ia jelas-jelas bertentangan dengan realita. Tidak ada fakta di dalam media atau seseorang yang menyampaikan ’berita’ tersebut. Yang ada hanyalah sudut pandang yang perlu untuk terus dikritisi dan di telaah, serta ditanggapi secara bijak dan arif.
Di titik inilah, sikap kritis terhadap media dan seseorang yang membawa beritapun juga mutlak ada. Informasi-informasi dari berbagai media, apalagi dari persepsi seseorang juga harus dilihat sebagai salah, sampai terbukti sebaliknya. Fakta harus dilihat sebagai pendapat yang perlu untuk dicermati dengan kaca mata kritis. Hanya dengan begini ini, kita bisa lolos dari penipuan terhadap ‘berita’ yang mengacaukan persepsi atau selera kita.
Oleh karena itu, janganlah mudah percaya pada suatu ‘berita’ dari manapun dan dari siapapun datangnya. Suatu kebenaran itu merupakan hasil dari falsifikasi. Ia bukanlah hasil dari afirmasi buta atas apa yang tertulis dan terdengar. Hasil dari falsifikasi, berarti bahwa kebenaran itu telah lolos dari uji coba dalam pencarian hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran itu sendiri. Ketika segala yang bertentangan telah diajukan, dan kebenaran itu tetap berdiri kokoh, maka kita boleh sedikit yakin, bahwa kita sudah berada di depan pintu kebenaran ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 27 November 2015.