Oleh. Purwalodra.
Beberapa hari lalu, saya berdebat dengan rekan kerja di kampus, tentang beberapa mahasiswa yang belum saya beri nilai karena tidak mengumpulkan tugas akhir semesternya. Saya sengaja mengosongkan nilai mahasiswa itu, sampai si mahasiswa itu sadar, bahwa nilai matakuliah yang dia ikuti berharga baginya !?. Teman-teman dosen memprotes tindakan saya ini, mereka bilang perlu ada ketegasan untuk mahasiswa, kalo memang mahasiswa tidak lulus matakuliah saya, gara-gara tidak mengumpulkan tugas akhir semester, ya sudah ?!, buat saja nilainya menjadi ‘E’ atau ‘D.’ Tapi, saya memiliki pertimbangan lain, mengapa nilai mahasiswa yang belum mengumpulkan tugas itu, saya kosongkan !?.
Pertimbangan pertama, bahwa kualitas seorang mahasiswa tidak bisa begitu saja diukur dengan nilai A, B, C, dan seterusnya. Apalagi, mahasiswa yang ikut matakuliah saya sebagian besar adalah karyawan atawa buruh perusahaan. Jadi saya akan memberikan toleransi, sampai si mahasiswa tadi sadar akan hak dan kewajiban terhadap nilainya itu !?. Pertimbangan kedua, bahwa standar kelulusan yang ideal selalu berpijak pada penilaian kuantitatif dan kualitatif. Penilaian kuantitatif melibatkan data numerik tentang prestasi peserta didik, seperti nilai Ujian (UTS & UAS), absensi, jumlah aktivitas dan tugas-tugas akademik lainnya. Sementara penilaian kualitatif melibatkan deskripsi naratif yang menggambarkan penghayatan terdalam mahasiswa, seperti apa makna matakuliah yang mereka ikuti, motivasinya mengikuti perkuliahan, dan apa harapan-harapan terdalamnya terhadap perkuliahan yang mereka ikuti. Pokoknya komprehensif dech !?.
Bagi saya, standar kelulusan yang hanya melihat peserta didik dari nilai-nilai akademiknya semata, akan menghasilkan intelektual-intelektual satu dimensi. Ciri dari intelektual seperti ini ketidakmampuannya untuk menghargai nilai-nilai lain di dalam kehidupan manusia, selain nilai yang dapat diukur secara matematis. Maka seringkali uang menjadi tujuan utama. Pola pendidikan yang mengabdi pada bisnis adalah hasil cara berpikir para intelektual satu dimensi ini.
Menurut seorang pemikir dari Frankfurt, Herbert Marcuse, pernah menulis buku yang berjudul One Dimensional Man. Di dalam buku itu, ia ingin mengungkap krisis masyarakat modern yang diakibatkan oleh keberadaan manusia satu dimensi, yakni manusia yang segala orientasi pikiran ataupun pilihan hidupnya hanya untuk mengkonsumsi barang-barang secara berlebih. Mereka tidak mampu menghargai nilai-nilai kehidupan lainnya, seperti solidaritas, cinta, dan pengorbanan.
Manusia semacam inilah yang akan menjadi warga negara kita di masa depan, jika proses pendidikan masih berpijak pada standar kuantitatif dan memiliki kecenderungan untuk membendakan peserta didik, seperti yang terjadi sekarang ini. Manusia satu dimensi adalah manusia yang terorientasi untuk mengkonsumsi. Mereka tidak lagi memiliki kesadaran kritis di dalam melihat dunia, walaupun bergelar sarjana.
Selain itu, ketika pendidikan kita dihadapkan kepada tuntutan untuk memanusiakan manusia, yang tidak hanya berorientasi pada lapangan kerja teknis guna menghasilkan nilai ekonomis sebesar-besarnya, maka standar penilaian terhadap peserta didik harus mencerminkan kemanusiaannya. Artinya standar penilaian peserta didik atau mahasiswa tidak hanya angka dan data numerik semata, tetapi juga mampu menangkap kerumitan jiwanya sebagai manusia yang memiliki sejarah, kepribadian, dan cita-citanya.
Sebenarnya, kualitas manusia itu tidak bisa di nilai oleh siapapun. Standar penilaian hanya sebatas mengukur salah satu kemampuan dari jutaan parameter kualitas pada diri individu. Sementara itu, peserta didik atau mahasiswa juga bukan produk material yang menjadi output dari suatu institusi pendidikan. Sehingga, ketika kita salah dalam menilai kualitas mereka, maka mereka akan kehilangan martabat dan personanya. Dengan demikian, perlu ada kajian lebih dalam lagi, bagaimana kita menilai peserta didik atau mahasiswa itu, tanpa menghilangkan martabat dan kerumitan personanya sebagai manusia. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 24 September 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H