Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (Second)

Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Janji 'Globalisasi' yang Diingkari ?!

Diperbarui: 21 September 2015   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Globalisasi yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia, memikul beban kepentingan ekonomi politik di punggungnya. Globalisasi ini memiliki dampak untuk mengintegrasikan, sekaligus mendisintegrasikan negeri ini. Globalisasi akan bermuara kepada proses penjarahan konsumen dan pasar domestik oleh negara-negara maju yang rakus.

Memang, dalam jangka pendek, globalisasi bisa jadi membuka banyak lapangan pekerjaan dan investasi asing berdatangan dengan gencar, namun dalam jangka panjang semua ini akan mematikan sektor-sektor fundamental ekonomi kita. Tanah-tanah milik masyarakat setempat diambil alih oleh penguasa asing dengan sewa jangka panjang yang sah, ataupun secara tidak sah dengan melakukan penekanan dan pemaksaan. Masyarakat pun terusir dari tanahnya sendiri.

Dalam jangka panjang, sumber-sumber utama penghasilan masyarakat hilang. Para pengusaha asing, untuk meraih keuntungan yang lebih besar telah memperkerjakan masyarakat setempat dengan upah yang rendah. Meskipun secara kasat mata, pasar lokal terkait langsung dengan pasar global, namun tingkat kesejahteraan masyarakat lokal tidak banyak berubah, karena pasar sepenuhnya dikuasai oleh pedagang asing yang memiliki sumber daya teknologi, alat komunikasi dan transportasi yang lebih unggul. Perubahan memang terjadi, tetapi bukan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan. Tragis memang !!!.

Globalisasi yang saat ini berlangsung juga telah memiskinkan masyarakat kita. Jurang antara si kaya dan si miskin pun semakin lebar. Pada hakekatnya, pola globalisasi tidak pernah berubah. Globalisasi di abad 21 ini masih menggunakan pola yang sama dengan yang terjadi di abad 19. Diwaktu yang lalu, pasar dikuasai oleh negara-negara maju dengan kolonisasi secara fisik, dengan kekuatan militer. Dewasa ini, pasar didominasi dengan taktik yang lebih halus, yakni dengan diplomasi politik, yakni bahwa negara-negara maju berusaha menguasai dan melipatgandakan keuntungan mereka dengan cara apapun. Dalam jangka pendek, memang tercipta berbagai bentuk lapangan kerja dan peluang usaha. Namun demikian, keuntungan sesungguhnya hanyalah diterima oleh negara-negara yang telah memiliki modal untuk berkompetisi.

Ketika keuntungan terbesar ada di negara-negara maju yang memiliki modal dalam berkompetisi, maka lapisan masyarakat kita, yang tidak memiliki sumber daya untuk berkompetisi, tidak mendapatkan keuntungan. Pemerataan kesejahteraan pun tidak tercipta. Oleh karena itu, globalisasi perlu kita lihat secara kritis, dan kalau perlu kita tolak, jika tidak memberi kontribusi pada kesejahteraan atau justru memperluas kemiskinan. Globalisasi bisa juga kita lihat sebagai proses ‘penyatuan’ dunia di satu sisi, dan ekspansi pasar di sisi lain, dimana proses kehidupan manusia di satu negara dipengaruhi secara signifikan oleh negara lainnya.

Pada tahun 2000 lalu, World Development Report menyatakan dengan optimis bahwa integrasi dunia, yang terjadi akibat proses globalisasi, akan memacu pertumbuhan ekonomi, sehingga akan mempersempit jurang kesenjangan sosial dan kemiskinan melalui perluasan lapangan kerja, dan peningkatan upah riil. Di negara-negara maju, dimana sumber daya yang dibutuhkan tersedia, mungkin harapan tersebut dapat menjadi kenyataan.

Namun, sebaliknya masyarakat di negara kita yang masih sulit berkembang, dengan segala keterbatasan sumber daya dan keterbelakangannya, justru harus merasa khawatir, karena integrasi dunia melalui globalisasi ini, yang tampaknya netral itu, ternyata hanya memberi keuntungan negara-negara maju, terutama para pemilik modalnya saja.

Kenyataannya, sekarang  globalisasi menjadi malapetaka bagi negara-negara berkembang, seperti di negara kita. Kita tidak lebih dan tidak kurang, hanya sebagai konsumen bagi negara-negara industri maju. Kita menjadi miskin di negeri yang katanya kaya itu, dengan peluang yang kecil serta kualitas sumber daya manusia yang amat terbatas, tidak dapat menikmati kemajuan yang telah dicapai.

Joseph Stiglitz pernah menyatakan bahwa sistem dan akar dari  perdagangan global itu tidaklah adil. Ia berpendapat bahwa banyak negara di dunia akan mengalami kegagalan dalam mencapai kemakmuran, dan hanya akan memberi kesejahteraan bagi beberapa kalangan saja, karena kebijakan yang tidak tepat sasaran. Salah satu sebabnya adalah, karena negara-negara berkembang menjadi “budak” dari IMF, ketika mereka menurut saja saran untuk mempercepat proses liberalisasi dan swastanisasi pasar lokal mereka. Saran IMF tersebut terbuktif salah total.

Sebagai contoh saja, bahwa saran IMF kepada negara Russia, telah menciptakan krisis ekonomi yang cukup pelik, sementara di Indonesia, liberalisasi pasar yang terlalu cepat telah menciptakan fondasi ekonomi yang rentan. Kerentanan fondasi ini mulai muncul pada dekade 80-an, terutama akibat deregulasi sektor perbankan. Ironisnya, pada tahap krisis di akhir dekade 90-an, IMF justru menganjurkan proses liberalisasi yang lebih cepat lagi di Indonesia, dengan fondasi ekonomi yang begitu rapuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline