Oleh. Purwalodra
Dalam kehidupan kita di tempat kerja, sehari-hari, menjadi orang benar tidak selalu beruntung. Kita justru banyak dirugikan. Orang baik tidak selalu mendapatkan kebaikan dari dunianya. Sama seperti, orang jahat tidak akan selalu mendapatkan kejahatan sebagai imbalannya. Sementara itu, orang jujur tidak otomatis akan selamat. Sebaliknya, orang tidak jujur tidak otomatis mendapatkan jahat. Akan tetapi, orang baik juga tidak otomatis mendapatkan jahat, sama seperti orang jahat tidak otomatis mendapatkan baik. Ada ketidakpastian yang membuat kita selalu merasa tersudut, dan tidak berdaya ?!!.
Kondisi diatas akan selalu kita temukan di kehidupan sehari-hari, karena kita selalu dihantui perasaan ‘ragu’ dan ‘takut’ untuk mengutarakan kebenaran yang ada dalam diri kita kepada orang lain. Padahal, apapun kebenaran yang ada dalam diri kita yang seharusnya diungkapkan, namun ketika kebenaran itu tidak diungkapkan, justru akan merusak diri otentik kita sendiri. Dan, kita akan menjadi manusia yang selalu tidak memiliki petunjuk intuitif dari dalam diri kita sendiri. Sikap inilah yang mampu melemahkan kemampuan-kemampun kita, dan yang lebih tragis lagi, kita akan kehilangan kemampuan untuk mengatakan kebenaran secara jujur, terbuka dan bebas.
Seseorang tidak akan mungkin mengatakan kebenaran dirinya, ditengah-tengah kelompok yang menggengam kesalahan. Hal ini terjadi karena orang tersebut takut di ‘cap’ sebagai pengkhianat. Ia juga takut distempel sebagai pemberontak yang laknat. Akibatnya, orang tersebut kehilangan pendapat orisinalnya. Dengan demiian, pendapat kelompok akan selalu mendikte sebuah kebenaran di dalam hati seseorang. Orang takut berkata benar, karena keselamatan diri menjadi taruhannya.
Kebenaran yang tersampaikan, membutuhkan satu hal untuk mewujudkannya, yakni, keberanian. Karena kebenaran selalu terletak di dalam diri, dan bukan di luar sana, sehingga keberanian merupakan daya dorong untuk melepaskannya. Tentu saja, ada tingkatan kebenaran. Pada level politis, kebenaran selalu mengandaikan adanya kumpulan orang yang mencapai kesepakatan. Akan tetapi, pada level yang paling luhur dan sangat pribadi bahwa, kebenaran merupakan keyakinan individu akan kehidupan.
Pada saat kita takut dan selalu ragu terhadap kebenaran yang kita genggam untuk bisa tersampaikan kepada orang lain, karena kita ingin selamat atau agar orang lain tidak tersinggung dengan kebenaran yang seharusnya kita ungkapkan, maka akibatnya kita tidak mampu mengatakan kebenaran tersebut kepada diri kita sendiri. Kondisi semacam ini merupakan keadaan yang selalu kita pelajari dari waktu ke waktu, dari saat ke saat, dari hari ke hari, bahwa kita meletakkan kebenaran kita pada tempat terakhir. Ini berarti juga, kita senantiasa memberikan kepada orang lain apa yang mereka inginkan, atau apa yang kita pikir mereka inginkan dari diri kita.
Pada level yang paling dalam di dalam hidup manusia, kebenaran bersifat subyektif yang diyakini seseorang atas hidupnya. Ia melampaui kategori baik dan buruk, sosial maupun individual, dan mencapai level level terdalam eksistensi manusia. Orang beragama menyebutnya sebagai iman atau keyakinan beragama, sementara para pemikir eksistensial akan menyebutkan sebagai kebenaran yang otentik : kebenaran yang berlaku untukku. Kebenaran otentik inilah yang pada akhirnya akan membebaskan manusia dari belenggu ketidakjujuran, ketidak-terbukaan dan ketidak-bebasan.
Ketika kita dituntut untuk hidup benar, sementara disekitar kita situasi-hidupnya, penuh dengan omong kosong. Maka, kita tidak bisa membedakan lagi antara kenyataan dan penipuan. Lantas, pikiran kita tertipu oleh fitnah dan propaganda di berbagai media. Uang kita cepat habis, karena sering salah ambil keputusan. Waktu dan tenaga kita pun terbuang percuma untuk hal-hal yang tidak penting.
Di sisi lain, keluarga dan orang-orang yang kita cintai menjadi terabaikan. Kita sibuk mengejar omong kosong, dan melupakan apa yang sungguh penting dalam hidup. Hidup kita tersesat, dan seringkali kita tidak menyadarinya. Akhirnya, kita pun menderita, dan membuat orang-orang di sekitar kita ikut menderita.
Omong kosong adalah kebohongan yang dibungkus dengan cara-cara tertentu, sehingga ia tampak sebagai sebuah kebenaran. Omong kosong diciptakan dan disebar untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak tertentu. Di masyarakat kita sekarang ini, ada dua kepentingan yang secara langsung ditopang oleh omong kosong ini, yakni fanatisme agama dan konsumtivisme ekonomi. Keduanya mengakar begitu dalam dan tersebar begitu luas.
Keyakinan keberagamaan kita banyak menyebarkan begitu banyak omong kosong, sehingga menutupi pesan luhur dan sejati ajaran agama tersebut. Omong kosong ini lalu menciptakan fanatisme yang akhirnya berujung pada kekerasan. Agama mudah sekali dijadikan sebagai justifikasi dari suatu tindakan anarkhis. Sehingga, omong osong ini juga menciptakan pembodohan di berbagai bidang. Omong kosong ini juga sejatinya melestarikan tata masyarakat feodal yang menguntungkan segelintir kecil orang, dan merugikan masyarakat secara luas.