Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (Second)

Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Menjadikan UN sebagai Tujuan Pendidikan ?!

Diperbarui: 14 Juli 2015   11:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Beberapa hari lalu, anak laki-lakiku yang baru diterima di SMKN-1 Kota Bekasi, menuliskan kekecewaan dalam FB-nya, begini, “Pendidikan di negara ini udah kaya gak di hargain lagi ! Contoh aja kaya, anak yg bener2 cerdas nilai rapot bagus, rajin belajar dikalahkan dengan anak yg gak ada usaha sama sekali, sering main dan mengandalkan orang tua untuk memperbagus UN-nya, entah itu menyogok atau mentang2 orang tuanya berkerja dipemerintahan atau di Pemda yg bisa mengubah nilai anaknya dgn mudah, dan tlg bagi pelajar jgn mengandalkan jabatan atau harta org tua, supaya kalian masuk di sekolah favorite. Kemampuan kalian akan terukur disana dan kemampuan kalian akan terlihat mana yg murni masuk sekolah trsbt atau tidaakkk!!! Jadilah Pelajar yang BERKUALITAS! jangan jadi Pelajar yg CUMA bisa mengandalkan UANG untuk meraih prestasi yg tidak murni !!!”  Aku nggak tahu apa kata-katanya ini hasil dari copy-paste atau memang keluar dari lubuk hatinya, tapi aku mencoba mengapresiasinya sebagai sebuah pemberontakan mental, yang melahirkan pikiran-pikiran kritisnya.

Kekesalan anakku ini, didasari oleh apa yang mungkin dilihatnya sehari-hari di sekolah selama belajar di SMP dulu. Memang banyak siswa yang tidak diunggulkan bahkan yang sehari-hari nilainya tidak melampaui ketuntasan belajarnya bisa memperoleh nilai Ujian Nasional (UN) yang lumayan tinggi, sementara banyak siswa yang justru juara di kelasnya mendapatkan nilai Ujian Nasional (UN) yang jauh di bawah rata-rata layak, termasuk anak laki-lakiku.

Disatu sisi aku bangga kepada anak laki-lakiku ini, untuk mau menerima nilai Ujian Nasional  (UN) apa adanya, sementara disisi lain akupun merasa kecewa dengan dunia pendidikan kita sekarang ini, jika benar-benar apa yang dikeluhkan oleh anakku ini memang sebuah kenyataan. Kondisi seperti ini, menyadarkan kita bahwa ketika pendidikan kita hanya dilihat sebagai hubungan antar murid dan guru, maka seolah masyarakat di luar tak mempengaruhi proses pendidikan di dalam kelas. Sementara, penelitian-penelitian di dalam ilmu pendidikan pun mengabaikan pengaruh keadaan sosial politik yang ada di luar kelas. Ia menjadi penelitian yang netral dan basi, serta nyaris tak berguna, karena tak bisa menangkap kenyataan yang ada dari proses politik pendidikan dan kekuasaan di luar kelas yang juga mempengaruhi dunia pendidikan kita saat ini.

Di sisi lain, pendidikan juga menjadikan segala bentuk ujian sebagai ukuran dan tujuannya. Singkat kata, anak-anak kita belajar, supaya ia bisa lulus ujian. Titik. Pendidikan menjadi begitu sempit dan dangkal, karena mengabaikan kekayaan sekaligus kerumitan diri manusia. Anak-anak kita juga menjadi impoten, karena mengabaikan pengaruh sosial politik yang ada di masayarakat.

Konsep ujian atawa test pun lalu juga disempitkan semata sebagai sebuah upaya untuk memuntahkan ulang apa yang telah dikatakan oleh guru dan buku. Anak-anak kita dianggap murid yang baik, ketika ia bisa membeo apa kata buku, atau apa kata gurunya. Ujian atawa test lalu menjadi proses cuci otak. Pendidikan semacam ini tidak akan pernah memperbaiki keadaan masyarakat kita, melainkan justru memperparah kerusakan moral dan politik yang ada.

Seperti dijelaskan oleh Julian Nida-Rümelin dalam bukunya yang berjudul Philosophie einer humanen Bildung, pendidikan yang inhumanis mengancam kreativitas berpikir. Padahal, kreativitas adalah kunci dari kemajuan budaya dan ekonomi suatu bangsa. Pendidikan yang inhumanis, juga berarti pendidikan yang apolitis, yakni pendidikan yang mengabaikan pengaruh sosial politik. Pendidikan yang apolitis juga menghancurkan kreativitas itu sendiri.

Pendidikan yang apolitis adalah pendidikan yang tidak relevan. Ia menciptakan robot-robot patuh yang tidak mampu berpikir kritis dan kreatif. Ia juga menghasilkan robot-robot yang mampu menghafal buku dan kata-kata guru, tetapi tidak mampu membuat terobosan yang penting bagi perkembangan budaya, seni, dan teknologi itu sendiri. Tak heran, di Indonesia, penemuan amat sedikit, karena kreativitas dan sikap kritis, yang merupakan kunci dari terobosan baru, dibunuh oleh dogma, budaya dan sikap apolitis dari birokrasi pendidikan.

Pendidikan yang apolitis, pada akhirnya, membunuh peradaban itu sendiri, dan hal-hal yang membentuk peradaban itu, seperti budaya, seni, dan ekonomi. Pendidikan apolitis menjadi noda bagi peradaban. Ia menciptakan ahli yang tak punya rasa kemanusiaan dan kepedulian pada keadaan masyarakatnya. Ia menghasilkan manusia-manusia arogan, tanpa cita rasa dan hati nurani.

Jadi, apakah kita masih menginginkan Ujian Nasional (UN) sebagai tujuan pendidikan kita, yang nyata-nyata ending nilainya bisa ditransaksikan seperti sekarang ini ?!.  Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 14 Juli 2015.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline