Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (Second)

Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Menjalani Hidup yang Terbalik

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14143406531677127178

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_369514" align="alignright" width="300" caption="Foto koleksi pribadi"][/caption]

Sebagai seorang laki-laki, yang hampir setengah baya ini, saya agak tersinggung dengan kata-kata seseorang wanita yang mengatakan, "Jika seorang pria benar-benar mencintaimu, maka dia akan memanjakanmu seperti anak kecil. Dia akan menganggapmu paling baik dan tidak akan membandingkanmu dengan wanita lain. Dia sangat ingin hidup dan menghabiskan hari-hainya bersamamu, sebab kamu menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Dia akan dengan sabar mendengar curhatmu, saat kau sedang sedih, sebab dia tak ingin membuatmu merasa sendiri."

Kata-kata yang terakumulasi dalam bentuk curhat diatas sering kita temui diberbagai media sosial dan di beberapa blog anak muda, tujuannya adalah untuk mengingatkan sesorang yang dicintainya untuk berlaku seperti yang ia harapkan. Bagi pikiranku yang sudah dikotori oleh fikiran-fikiran rasional-pragmatis sekarang ini, mungkin kalimat curhat diatas tidak lagi menusuk, alias tumpul. Namun, bagi orang-orang yang kering hatinya, dan miskin kasih sayang, kalimat diatas merupakan mimpi yang mau-tidak-mau, suka-tidak-suka harus diburu. Disinilah pada akhirnya, kita menyaksikan fenomena di masyarakat dengan munculnya laki-laki dan perempuan simpanan.

Mungkin, saya tidak akan membahas fenomena laki-laki dan perempuan simpanan tersebut saat ini, seperti yang sudah saya munculkan diatas, tapi saya lebih tertarik menulis tentang bagaimana kita menjalani hidup di dunia yang terbalik. Karena kondisi hidup yang terbalik ini bisa kita lihat dari kenyataan bahwa, apa yang buruk dikiranya sebagai baik, dan apa yang baik kini dianggap sebagai sesuatu yang aneh, bahkan jahat. Gejala ini tersebar di berbagai bidang kehidupan, mulai dari politik sampai dengan keluarga. Apa yang sebenarnya sedang terjadi ?.

Mungkin apa yang dikemukakan oleh Sahabat saya Reza A.A Wattimena, Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, yang sedang di München, Jerman ini, mengatakan bahwa, saat ini banyak orang merasa dirinya benar-benar hidup. Mereka bangun pagi, bekerja, makan lalu tidur. Seumur hidupnya, mereka mengikuti apa kata orang, yakni apa yang diinginkan masyarakatnya untuk dirinya. Mereka memang hidup, tetapi tidak sungguh-sungguh hidup, karena terus tunduk pada dunia di luar dirinya.

Mereka berbuat sesuatu, karena masyarakat menginginkannya. Mereka menolak untuk hidup dalam kebebasan, karena itu menakutkan. Orang-orang ini menjalani hidup-yang-bukan-hidup. Mereka hidup, namun sebenarnya sudah mati.

Di sisi lainnya, banyak juga orang hidup, tetapi mereka diperbudak oleh ambisi-ambisi pribadinya, sehingga menjadi buta akan segala hal. Mereka hidup, tetapi tidak sungguh hidup, karena terus berada dalam tegangan dan penderitaan. Ambisi itu rapuh. Ketika orang gagal mewujudkannya, kekecewaan datang tak terkendali. Ketika terwujud, rasanya hampa dan tawar, seperti roti tanpa selai.

Ambisi menciptakan ketegangan dalam diri. Ia membuat orang tak peduli dengan lingkungannya. Ia hanya terpaku untuk mewujudkan satu tujuan, yakni ambisinya sendiri, jika perlu dengan mengorbankan orang lain. Orang semacam ini juga tampak hidup, tetapi sebenarnya juga sudah mati.

Untuk bisa hidup, manusia harus bekerja. Dengan bekerja, ia lalu mampu mewujudkan kemampuan dan bakat-bakatnya yang sebelumnya terpendam. Ia pun lalu bisa menjalani hidup yang penuh dan bahagia. Namun, yang terjadi adalah, kini pekerjaan juga menghisap dan memperbudak manusia. Ia menjadikan manusia sebagai alat untuk meraih keuntungan finansial perusahaan.

Orang diperas untuk bekerja, sampai melewati batas. Banyak orang mengalami penyakit, karena tekanan semacam ini. Perbudakan kini ditutupi dengan konsep-konsep bagus, seperti outsourcing. Pekerjaan tidak lagi menunjang dan mengembangkan hidup manusia, tetapi justru menghancurkannya, tanpa ampun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline