Lihat ke Halaman Asli

Wira D. Purwalodra (Second)

Seorang Pembelajar dan Pencari Kebenaran.

Sakitnya Tuh Di Sana, di Dalam Hatimu?

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14167630111091523545

Oleh. Purwalodra

[caption id="attachment_377623" align="aligncenter" width="648" caption="Foto Koleksi Pribadi"][/caption]

Selesai Olah Raga rutin-mingguan di kantor, pagi ini, atasanku bilang laporan tahunan kalo bisa selesai hari ini. Hadoooh ... seperti kesamber petir rasanya. Tiba-tiba aja, pikiranku mengatakan begini, "rasanya gak mungkin dech !!!." Tapi bathinku dengan santai bilang, "gak ada yang tak mungkin ?." Kontan aja di dalam tubuhku terjadi kontak senjata antara fikiran dan bathin yang memperebutkan posisi dominan. Tubuh fisikku cuma bisa mengangguk tanpa ekspresi. Dan melihat pertempuran tanpa mampu berbuat apa-apa.

Ketika, perang antara fikiran dan bathin ini berlangsung beberapa waktu, maka efeknya nyamber kemana-mana, seperti emosi berlebihan, pusing mendadak, tak ada nafsu makan sampe mencrat-mencret. Semua ini akibat dari dua kekuatan yang saling berseteru. Yang menjadi korban dalam situasi seperti ini adalah tubuh fisik kita. Kalo saja perang ini bisa segera disudahi dengan kemenangan di salah satu fihak, tentu penderitaan tubuh fisik tidak akan berakibat lebih fatal. Namun pada saat konflik fikiran dan bathin ini berkelanjutan dan sampai berhari-hari maka bisa dipastikan akan merusak fungsi-fungsi syaraf dan sampai ke tingkat sel-sel yang ada dalam jaringan otak, jantung, paru-paru, bahkan ginjal dan lain-lain.

Beberapa saat kemudian, "aku harap bisa ada yang memenangkan perseteruan antara fikiran dan bathin ini," pikirku. Dengan begitu penderitaan dan tekanan dari fikiran maupun bathin tidak terus berkepanjangan. Namun, jika aku biarkan kontak senjata ini berlangsung terus, maka tidak akan ada yang bakal kalah dan tidak ada yang bisa menang. Karena perang ini hanya aku dalangnya. Satu-satunya jalan keluarnya, adalah mengamati peperangan yang sedang berlangsung dan mengawasinya dengan seksama. Artinya, aku menjadi pengamat dan menjadi pengawas atas apa yang aku fikiran dan aku rasakan. Dengan begitu, perang antara fikiran dan bathin akan selesai dengan sendirinya, ato bisa juga dibilang bahwa perang tersebut seketika selesai, bila kita mau dan mampu menjadi pengamat yang netral. Oleh karena itu, aku harus berusaha diatas fikiran dan hatiku sendiri.

Dengan sedikit konsentrasi dan fokus pada persoalan yang sedang dipermasalahkan oleh fikiran dan bathin, aku mampu melerai dan peperangan antara fikiran dan bathin seketika menghilang. Sekarang aku sudah berada di atas fikiran dan bathinku sendiri. Dalam situasi seperti ini hanya kedamaian yang ada, hanya kesunyian yang hadir, dan hanya aku yang eksis. Aku yang sejati.

Tak lama aku menikmati suasana damai, tiba-tiba berdering telepon, setelah kuangkat gagang teleponnya ternyata dari teman sekerja yang langsung ngomel-ngomel begini, "puaaas-puaaaaas ya !!!."

"Puas apanya?" jawabku, tidak tahu apa yang membuat temanku ini marah-marah.

"ya .. pokoknya ente puaaaas dech !."

"Puas yang mana ?"

"Barusan Bos besar ke ruangan saya dan saya juga kena imbas bikin laporan tahunan, tau !!!." Jelas teman saya di telepon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline