"Apakah anda terbengkalai di renungan ruang kasih itu?"
Begitu beraturannya jiwa yang penuh hasrat itu pada entitas,
"Apakah anda terbelai oleh simpangan kata yang itu?"
Begitu pedulinya prosa ini pada esensi yang berpotensi keras.
Menguji puji untuk uji yang diberi, adalah keji.
Mencoba puja untuk raja tapi tak mau.
Memberi diksi untuk kisi-kisi adalah hak asasi.
Menggoda godaan vodka tapi tak tahu.
Fiksi itu tak begitu fiktif bung, untuk raung yang mengaung,
Ijab itu tak begitu daif bung, untuk kalung yang menggelantung,
Asap itu tak begitu pasif bung, untuk layang-layang yang melambung,
Pejuh itu tak begitu naif bung, untuk ovum dalam ovarium.
Kupu-kupu malam malu tersipu-sipu,
Bagai alang-alang yang menghilang-hilang,
Buku-buku alam maju tersapu-sapu,
Bagai kunang-kunang yang terbang-terbang.
Daku selalu menyimpan kaku dalam saku,
Untuk memuntahkan rindu yang kalut,
Dikau selalu menyimpan rindu dalam kaku,
Karna sengkarut mulut yang cabut.
Mencubit ciut untuk menganalogikan kesucian,
Berkabut-kabut semantik yang tak bertepian,
Menjulang guling yang kini dirindukan,
Bertaut hati tak selalu pencitraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H