Lihat ke Halaman Asli

Dalam Perut Tebing, Sekeluarga Saling Sedih

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wahyu Gandi G

Ah, jakungmu payah. Baru semenit saja sudah tak setega itu, naik turun seperti sebuah ungkapan yang tak rela dari bahasa tubuhmu nak. Kali ini, kau akan tenang dan tentram berada dipelukan tebing yang membatu ini. Ibu telah lama menunggumu di ruang ini, dua puluh dua tahun silam, saat kau masih perjaka, aku telah meninggalkan keluarga di dunia. Walau sebenarnya saat itu, wajahku tengah bersedih, air mataku setiap saat meluncur sendiri di ruang ini, jujur Ibu kesepian nak. Padahal, Ibu bermimpi dapat melihat kau menikahi gadis pujaanmu, yang pernah kau ceritakan diam-diam pada Ibu, kelak jika ayahmu tahu, ia akan menasihatimu, makanya kau merahasiakan nama gadis itu.

**

Indo'ku mamali'na' lako kamu(Ibu, aku rindu kepadamu), bagaimana bisa aku secepat ini meninggalkan mereka, padahal aku belum siap meninggalkan Rissa dan Halam”

Io anakku, kukampaiko inde te, sae lako kama'na lino (Iya Anakku, saya akan menunggumu disini, hingga dunia berakhir). Begitulah, itu sudah menjadi ajalmu dari Tuhan. Astaga, Ibu baru ingat, iya..namanya gadis yang pernah kau ceritakan itu; Rissa, sayang aku sudah lupa wajahnya. Tunggu, Halam itu siapa?”

“Ibu lupa wajahnya, karena memang tidak pernah dilihat. Halam itu cucu Ibu, buah cintaku bersama Rissa” Ia semakin sedih, meratapi anak pertamanya yang masih membutuhkan Ayah disampingnya.

“Sudahlah, terima takdirmu nak. DuluIbu berat meninggalkan Bapak, dan saudara-saudaramu. Tapi, Ibu sadar bahwa kematian adalah batas yang mengingatkan kita untuk selalu berusaha di manapun kita hidup, mati pun tak seburuk hidup dalam kemiskinan nak”

“Saya masih butuh waktu, ingin bersama mereka, minimal melihat Halam masuk sekolah”

“Ibu juga pernah ingin menggugat Tuhan, mengapa Ia mengambil nyawaku, padahal aku ingin melihat anakku (yaitu kau) menikah dan memiliki anak yang manis dan taat beribadah. Tapi, semua itu sirna seketika ajal menjemput”

**

Dalam sebuah dunia alam lain, dapat melihat dunia yang nyata. Melekat disebuah dinding tebing bukit yang tinggi, dipahat dengan sabarnya selama berbulan-bulan. Saya dapat menyebutnya ini sebuah ‘’dunia buatan’’.

Dari tetangga sebelah, katanya dunia ini dimulai pada abad ke-16, saya tak tahu menahu kapan waktu. Lanjutnya, tempat ini menjadi dunia selanjutnya kepala suku Toraja. Beberapa ‘rumah’ di berandanya (lego) memiliki patung-patung (tao-tao) yang diyakini sebagai representasi penghuninya, untuk saya dan Jecky, masih belum ada hingga sekarang.

Patung kayu (tao-tao) yang dipahat dengan detail. Ada filosofi di baliknya yaitu tangan kanan menghadap ke atas sedangkan tangan kiri menghadap ke bawah. Hal itu memiliki arti meminta dan memberkati, posisi tangan tersebut mencerminkan posisi antara yang hidup dan yang mati. Manusia yang telah meninggal membutuhkan bantuan keturunannya yang masih hidup untuk mencapai surga (puya) melalui upacara adat, sedangkan yangg hidup mengharapkan berkah dari yang mati untuk tetap menyertai kehidupan anak cucu mereka.

Nama Lemo sendiri berarti jeruk, itu dimaksudkan pada gua batu terbesarnya yang berbentuk bundar menyerupai buah jeruk, lubang-lubang kuburannya seakan membentuk pori-pori buah jeruk. Menurut penuturan masyarakat setempat, kuburan tertua di tempat ini adalah seorang tetua adat bernama Songgi Patalo.

**

Namanya Iraba’, seorang nenek yang taat. Meninggalkan seorang laki-laki yang tangguh dan kokoh, serta dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Dan akhirnya, Tuhan mempertemukan mereka (anak dan ibu) dalam sebuah mati yang betul-betul merindukan.

Berbagi keluh-kesah tentang dunia yang berbeda, yang ‘pernah’ mereka alami secara bergantian. Walau sedikit yang membedakan mereka sebelumnya ‘dimensi’ waktu dan tempat itu sendiri. Alam ruh dan manusia.

“Bagaimana kabar Bapakmu? Apa dia masih rajin memelihara tedong, ditengah kesibukan kantornya”

“Masih mak, Bapak masih rajin memberi makan, mengajaknya berjalan-jalan serta sesekali bermain disawah yang berlumpur ditiap akhir pekan”

“Bagaimana dengan istrimu?”

“Saya rasa ia masih larut dalam kehilangan, mungkin bukan lagi sedih. Ia perempuan yang tangguh dan perkasa mak. Aku berdoa, semoga dia selalu dalam lindungan Tuhan”

“Saya harap ia sekuat yang kau katakana, disetiap pergantian hari-malam, Ibu akan selalu menyempatkan waktu kerumah, mengintip aktivitas mereka (keluarganya). Sesekali, Ibu mengingatkan mereka dengan “adat” yang sering mereka lupakan”

“Boleh ikut?”

“Bersambarlah, sampai saatnya kau terbiasa nak”

**

Pukul 08.00 dipagi yang cerah

Katanya ia cerah, beberapa detik kemudian langit dengan lihai bergemuruh, mengaduk-aduk langit dan awan menjadi satu tumpahan yang sedikit gelap, lalu tak lama hujan melanda. Pakaian basah yang dikeringkan di halaman depan rumah bergoyang atas tiupan angin, diantaranya ada yang lepas dari jepitannya. Seorang perempuan keluar dari balik pintu, dengan pakaian ibu rumah tangga normal pedesaan.

Terlihat memegang sebuah keranjang, memetik satu-persatu pakaian yang hendak di pertemukan dengan matahari. Memungut yang jatuh, lantas pemandangan yang nampak seperti seorang tukang kebung, yang sedang panen ditengah badai yang cukup kuat amukannya.

Dijari manisnya, terdapat sebuah cincing emas. Cincin pemberian Jecky, seorang pemuda yang baru saja ia di tinggalkan pergi. Sehari-harinya menghabiskan waktu berdua dengan seorang balita; Halam. Anak laki-laki berambut lurus, hitam dan berkulit putih. Sedikit mirip dengan wajah orang jepang, namun hidungnya pesek seperti orang Indonesia asli, Keturunan toraja.

Sehari-harinya, waktu hanya di habiskan sebuah rumah peninggalan mendiang suaminya. Di bagian-bagian tertentu terdapat sebuah kepala kerbau. Ciri khas rumah-rumah masyarakat Toraja. Sebelum ditinggal Jecky, ia berprofesi hanya sebagai Ibu rumah tangga (mengurus rumah dan anak), sepeninggal Jecky, tak banyak yang berubah, ia tetap seorang Ibu rumah tangga, hanya saja, yang mengurusi keuangan mereka tak jelas siapa.

Kakak laki-laki Rissa, sesekali datang berkunjung, menyambangi Halam dan kondisi keluarga kecil itu; Adik perempuan Jecky (adik ipar Rissa) bersama mertuanya, Bapak Frans di setiap akhir pekan selalu datang membawakan beberapa kebutuhan, terutama buat pertumbuhan Halam. Kondisi yang selalu memancing ‘ruh’ dari Ibu Jecky dan Jecky merasa kurang tenang di dunianya.

**

Iraba’ selalu datang memangku dan menggendong Halam, tanpa sepengetahuan Rissa. Sesekali Jecky ikut mengunjungi keluarga kecilnya itu. Saat pertemuan petang, Halam yang saat ditinggal di kamar sendirian. Rissa tak tahu banyak akan kejadian itu, Halam selalu tertawa bahagia dengan senyum yang masih ompong bermain dalam pelukan Nenek dan Ayanhnya. Rissa selalu mendengar suara senang anaknya, saat mengecek kamar; ia tak menemukan apa-apa selain Halam di tempat tidurnya.

Jecky tak kuat melihat penderitaan Rissa di balik jendela dunia yang berbeda, kadangkala bersama Ibunya, Iraba’. Tangis dari kelaki-lakiannya pecah, bahkan seisi tebing mendengar itu. Dalam tebing itu, hanya lubang mereka satu-satunya yang berjumlah paling sedikit diantara semua penghuni.

“Mak, bagaimana jika penghuni tempat kita di tambah lagi?”

“Maksud kamu nak?”

“Saya ingin Rissa dan Halam di sini”

“Kenapa kau berbicara seperti itu, yang seolah-olah penentu segala sesuatunya”

“Bukannya seperti itu mak, saya tidak kuat melihat beban mereka (istri saya) yang sehari-harinya hanya menunggu belas kasihan keluarga. Jika dia bekerja, siapa yang merawat dan menyusui Halam”

“Aku paham nak, biarkan mereka menikmati dunianya dengan perjuangan dan sunggug-sungguh”

“Tapi mak..”

“Sudahlah, tenangkan dirimu”

**

“Aku ingin bekerja, aku malu jika hanya Ayah dan Iparku yang selalu membiayai kehidupan kami (aku dengan Halam), oh Tuhan, mudahkanlah jalanku untuk menemukan pekerjaan yang layak. Agar, aku dapat membesarkan anakku sebagaimana mestinya dan agar suamiku bangga dengan perjuangan cinta kami”

Akhirnya, Rissa bekerja disebuah Mini market sebagai seorang kasir. Kemudian Halam dititipkan dirumah mertuanya, dirawat dan dijaga oleh Bapak Frans dan adik iparnya; Juwita. Ia menikmati pekerjaannya itu, hingga lupa pada Halam yang membutuhkan air susunya.

Iraba’ mulai menyoroti Rissa, yang kadang lupa kerumah mertuanya, melihat Halam ataupun memberinya air susu. Peringatan pertama ia berikan, mini market tempatnya bekerja di rampok oleh segerombolan pemuda tak dikenal, saat Rissa lembur hingga pagi. Peristiwa itu membuat Rissa sedikit shock dan perlu beristirahat beberapa hari. Jecky hanya melihat Rissa, istrinya dengan tatapan sedih dari jauh. Ia sebenarnya tahu, bahwa kejadian itu adalah peringatan dari Ibunya.

“Mak, kenapa dilakukan ke Rissa?”

“Itu sebagai peringatan, agar ia tak melupakan cucuku”

“Tapi, caranya tidak perlu separah itu kan?”

“Tenanglah nak”

Halam sakit, ia menderita muntaber dan perlu dirawat dirumah sakit. Bapak Frans dan Juwita mengurus pengobatan serta biaya administrasi Halam. Rissa sama sekali belum menampakkan tubuhnya, padahal sehari sebelum dibawah kerumah sakit, Juwita sudah menelepon (tak diangkat) da mengirimkannya pesan kepada Rissa, perihal kesehatan Halam.

Seminggu lamanya, Halam dirawat dirumah sakit dan kondisinya tak kunjung membaik. Tragis, Halam meninggal dunia tepat di pertengahan malam. Tanpa pelukan dari kedua orangtuanya, Ibu dan Ayahnya. Membuat Bapak Frans dan Juwita merasa amat sangat terpukul, dan menyesali kejadian ini.

Kemana Rissa ?

Seorang gadis di temukan tak bernyawa dipinggir jalan Kenari. Berambut panjang, menggunakan setelan baju seperti seorang wanita kariri. Mayat itu ditemukan oleh tukang sampah pukul 06.00 pagi. Beberapa bekas hantaman benda keras di sekujur tubuhnya, lebam dan membiru. Sepertinya, mayat itu dari semalam, dan ada orang yang sengaja membuangnya di tempat ini, dari ciri fisik, ini sebuah pemerkosaan sekaligus pembunuhan secara sengaja. Kata Pak RT setempat.

Setelah ditelisik, dianalisa serta diotopsi di rumah sakit (tempat Halam meninggal). Mayat itu adalah seorang pegawai mini market, dan itu ternyata Rissa.

**

Sebuah surat kuperuntukan buat Tuhan, lekas Ia menjemput mereka dan menghuni ruangan ini; Awalnya, aku tak ingin menuruti permintaan Jecky. Sebelum kusampaikan, hatiku merasa lain, tak sama ketika saat masih kemarin-kemarin. Saya melupakan waktu; itu wajar, waktu tak berguna lagi didunia ini.

Dari kejauhan; kami menyambut. Aku sedih, belum sempat kusampaikan permintaanku kepada Dewata tunggal diatas langit, mereka (Rissa dan Halam) telah lahir didunia kami (ruh). Wajah Jecky buram, bahagia bercampur aduk, jua menampakkan kesedihan yang luar bisa, batin pun sepertinya. Aku meringkuk di sudut ruangan, beberapa saat aka nada ritual yang sama saat kita bernasib di tempat ini.

Terlukis di hati Jecky :

Niat memang berupa dan berupaya menjadi takdir, itulah yang sempat memecah kebahagiaanku menjadi butir-butir kesedihan yang sulit buat kusatukan. Di lain sisi, aku bahagia ada mereka, di sisi lain, aku sedih,melihat mereka (Bapak Frans dan Juwita) bersedih melepaskan mereka.

Makassar 2015




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline