Dan anganku tak henti, bersajak tentang bayangmu, walau kutahu, kau tak pernah anggap aku ada ; Ku tak bisa menggapaimu, takkan pernah bisa, walau sudah letih aku, tak mungkin lepas lagi, kau hanya mimpi bagiku, tak untuk jadi nyata, dan segala rasa buatmu, harus pada dan berakhir –Utopia (Antara ada dan tiada)
Kutipan lagu di atas sedikit menyentil berbagai problematika sistem bayang-bayang yang di peluk Indonesia di tengah badai krisis kejujuran serta orang baik, (kebobrokan kesejateraan ketololan atau hidup dalam kejujuran yang masih munafik) belum lagi berbicara tentang intelektual. Tentang bayang-bayang yang selalu ‘memaksa’ para pelajar Indonesia untuk menguasai hampir apa yang selalu di muntahkannya kembali, tanpa memikirkan kapasitas ; menimbulkan kekacauan sistem berfikir, kemauan yang tertunda serta penghadangan untuk cerdas dengan cara di begal secara halus agar dewasanya tak menjadi ‘lawan’ dari mavia-mavia yang masih mencintai kapitalismenya. Tonggak pergerakan serta perlawanan secara anarki tidak hanya di lakukan secara terang-terangan di depan sorot mata lensa, atau mata masyarakat yang teragitasi, melainkan dari balik jeruji kejujuran, kedewasaan serta kebijakan yang tak berpangkat serta berjabat.
Sistem Ujian Nasional atau yang lebih di kenal dengan singkatan UN adalah sistem evaluasi standarpendidikandasar dan menengah secaranasionaldan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan olehPusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas diIndonesiaberdasarkanUndang-UndangRepublik Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentukakuntabilitaspenyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yangmandirisecaraberkala, menyeluruh,transparan, dansistematikuntuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.
Katanya sistem evaluasi, nyatanya yang terjadi hanya sistem formalisasi yang radikal yang dapat mengganggu mental siswa itu sendiri, bahkan orangtua siswa. Sistem yang di terapkan dan di laksanakan sekali setahun ini memang menjadi ajang yang menguras hampir setengah bagian dari kehidupan pelajar (SD, SMP & SMA). Pelaksanaan yang selalu saja tumpang tindih, tidak terakrediatasi secara menyeluruh, pengawasan yang tidak berpendidik, serta penyebarluasan secara ‘tak adil’.
Lantas waktu yang di habiskan selama tiga tahun lamanya, belajar segalanya; hanya di tentukan selama tiga hari itu? Dan bahkan di tentukan terkesan tidak adil (mengapa bukan dari pihak sekolah saja). Tiga hari yang menentukan sebuah kelanjutan, lantas tetap bertahan pada jalan itu atau memilih mundur sebelum mati dalam kesengsaraan. Beberapa temuan tiga tahun terakhir untuk wilayah-wilayah tertentu, kebocoran soal selalu menjadi ladang untung-untungan bagi para siswa yang mengalami krisis; depresi mental yang lemah (bahkan bisa jadi lubang yang mematikan). UN 2015 tahun ini sebelumnya sudah terdengar sedikit carut, isu tentang pengalihan secara online (agar menghindari kesalahan teknis) mungkin sedikit menguntungkan siswa kalangan ‘modern’, namun bagaimana dengan siswa yang berada di ujung Indonesia sana (Pulau Irian Jaya) yang di kenal sebagai mutiara hitam. Tidak akan menyeluruh persebaran akan kebijakan pemerintah kali ini, kecuali menjadikan sepertiga wilayah Indonesia sebagai cyber city secara sim sala bim.
Ada siswa di buat tak berdaya, pola yang di katakan sebagai standarisasi ini justru menjadi sebuah bumeran yang dapat menyerang siapa saja yang sedikit melenceng dengan sistem yang terjadi, bukan hanya menyerang, bahkan membunuh pemiliknya sekali pun. Sebagian besar siswa merasa bahwa UN hanya sebagai ajang simbolis, sebagai ajang pembuangan ilmu yang di dapat (jika lulus berubah menjadi coretan warna-warni dan jika tidak berubah menjadi tangis yang dalam) terlupakan setelah hura atau melukai, bahkan sebagai ajang yang sama sekali tak menguntungkan/berpihak pada siswa. Waktu adalah proses, dan proses memerlukan waktu; mengapa bukan sekolah saja yang menentukan kepantasan kami meninggalkan sekolah secara baik-baik dan puas, sekolah lebih paham karakter siswa (dalam belajar ataupun bersosialisasi). Pemerintah buta, dan terkesan tak mau tahu dengan kedua hal pokok itu, ia hanya berkaca pada hasil UN yang sebenarnya kadang ‘tak sesuai dengan kenyataan’.
Berbagai masalah pun setiap tahunnya timbul dari pelaksanaan sistem ini, bahkan ujung-ujungnya nyawa pun menjadi ‘lulus’ dari jasadnya. Padahal idealnya, pendidikan karakter yang mesti di soroti oleh kurikulum Indonesia terlebih dulu, bukan ilmu pengetahuan, yang semestinya menjadi prioritas kedua. Karakter menjadi pembawaan setiap tubuhnya, di mana setiap karakter dalam satu jasad memiliki satu atau lebih bidang ilmu pengetahuan yang di anutnya (fisika, matematika, sastra, astronomi dan sebagainya). Akan terjadi sebuah keseimbangan humanis jika kedua hal itu; karakter dan ilmu pengetahuan, seimbang dan akan menghasilkan individu-individu yang mandiri, cerdas dan inovatif. Bukan lagi para calon-calon yang selalu mangkal dalam panggilan KPK jika terbukti ‘berhasil’ mencuri uang negara.
Pengalaman saya ketika mengikuti UN dua tahun silam, mengajarkan sebuah kiasan tentang arti dari munafik. Di sisi yang semestinya, kita gamang dengan sistem UN ini, yang menjadi tuhan serta penentu nasib selama tiga tahun mengabdi (berguru, bermunajad, mengaplikasikan) yang selalu keluar dari batas abnormal. Munafik karena mengetahui bahwa akan adanya kunci jawaban yang beredar, jika tak menerima itu jujur pasti melekat di pundak kita, namun jika menerimanya, kita bisa menjadi bagian yang salah dan gagal dari sistem formalitas tersebut. Padahal secara batin dan nurani, kami ingin lulus tanpa sebuah ‘anugerah’ dari guru atau pihak manapun, diri kamilah yang harus menentukannya.
Kita gamang sebab sistem, bukan karena pelaksanaan. Perubahan memang mesti harus di lakukan demi keterwujudan sistem pendidikan yang lebih baik, tanpa ada ‘paksaan’ secara formal. Belajar timbul dari alam sadar dari setiap insan, mengetahui apa yang pernah dan belum terjadi di alam semesta, serta menjadi bekal vital di masa tua yang menjelang.
Bodoh bukan berarti tak cerdas, namun itu karena sebuah pilihan, menjadi bodoh adalah menghindari kemunafikan dunia yang semakin menjadi-jadi, dari pada mengaku cerdas namun buntu dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang mencekik. Kalau sempat, tercekik oleh dirinya sendiri.
Makassar 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H