Lihat ke Halaman Asli

Menulis dan Kesadaran Sejarah

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya mengawali tulisan ini dengan sebuah ungkapan menarik dari seorang Sekneg dan Menteri Penerangan Aceh Merdeka, beliau mengatakan bahwa “sejarah jikalau tidak dituliskan akan menjadi deongeng”. Bagi saya yang seorang lulusan dalam bidang sejarah tentu akan menohok hati bila lansung mendengar kalimat itu secara langsung.

Membaca kalimat itu saja sudah membuat saya semakin tergugah bahwa seorang yang berkutat dalam bidang sejarah haruslah menulis. Terutama sekali bagi tenaga pendidik baik itu guru sekolah maupun dosen di universitas. Di Indonesia, peneliti sejarah yang menulis sejarah sudah banyak. Tapi bagi pendidik, tidak semua memahami bahwa pentingnya menulis sejarah. Paling tidak, tulisan yang dibuat adalah sebuah karya orisinil yang ditujukan bagi anak didiknya.

Mungkin untuk kalangan setingkat universitas(terutama universitas ternama) banyak juga sejarawan yang menghasilkan karya-karya fenomenal yang bahkan tidak sedikit juga menghasilkan buku-buku yang fenomenal. Akan tetapi yang cukup memprihatinkan adalah di kalangan guru sekolah. Paling tidak adalah sadar dulu tentang betapa pentingnya menulis sejarah. Apalagi seorang guru yang dalam lingkup mikro mampu mengeksplor sejarah kecil yang ada di sekitar, misal sejarah sekolah itu sendiri.

Memang, tidak bisa dipugkiri bahwa tulisan sejarah dalam sekrup mikro atau lokal masih kurang mendapat perhatian. Banyak faktor juga yang melatarbelakangi, terutama terkait sumber. Akan tetapi bukan berarti hal tersebut tidak sepenuhnya tertutup kemungkinan untuk di eksplor lalu di tulis. Permasalahan tulisan itu nanti akan di bukukan dan menjadi komersil itu tidak terlalu penting. Sekali lagi adalah menulis sejarah adalah bentuk kesadaran terhadap sejarah.

Banyak orang tidak mengerti mengenai kegunaan sejarah. Memandang sejarah sebelah mata. Pengkerdilan sejarah juga tidak jarang dijumpai di dunia pendidikan. Ungkapan sejarah adalah masa lalu seakan mejadi boomerang. Padahal sejarah tidak sesempit itu. P. Swantoro seorang sejarawan dan juga seorang jurnalis mengatakan in het light het verleden, in het nu wat komenzal (dalam masa sekarang kita menjumpai masa lalu, dalam masa sekarang juga kita mendapati apa yang akan datang). Sebuah pemikiran yang cerdas dari seorang yang memiliki kesadaran sejarah.

Sejarawan Taufik Abdullah menuliskan bahwa suatu peristiwa terjadi dan sesungguhnya hanyalah sebuah titik dalam lautan peristiwa, tetapi barangkali peristiwa itu secara riil maupun dalam anggapan terkait pada yang lain hingga menjadi bagian dari suatu proses yang menentukan arah perkembangan masyarakat. Dr. Aman, dosen sejarah Universitas Negerti Yogyakarta menyampaiakn bahwa kesadaran sejarah amat esensial dalam pembentukan kepribadian.

Sebenarnya masih banyak ungkapan mengenai sejarah yang semestinya menjadi pedoman merubah arah pemikiran tentang stigma buruk terhadap sejarah. Bagaimana mau menulis sejarah bila tidak memiliki kesadaran sejarah. Padahal kedua hal tersebut saling berkaitan. Menulis sejarah demi kesadaran sejarah baik bagi dirinya maupun orang lain. Dan menulis sejarah tentu di awali oleh kesadaran akan sejarah.

Bukti bahwa sejarah amat diperhitungkan adalah sejarah dijadikan alat legitimasi politik dan palenggengan kekuasaan. Terutama pada masa Orde Baru. Buku teks sejarah khususnya pada masa Orde Baru di tulis sedemikian rupa demi legitimasi kekuasaan pemerintah. Walau terlihat sejarah diagungkan terutama pada Kurikulum 1984, akan tetapi tetap bernuansa politis, dan saat itu juga sejarah akan kehilangan ruh.

Sejarah sesungguhnya bisa menjadi medan pembelajaran bagi manusia untuk menjadi dirinya mencapai kebahagiaan. Tetapi dalam hal politik dan kekuasaan, manusia tampakanya tak pernah belajar dari sejarah, begitu tulis Shindunata dalam kata pengantar buku “Masa Lalu Selalu Aktual”. Shindunata ingin menyampaikan betapa sejarah itu “tidak ada” dalam dunia politik dan kekuasaan. Yang ada hanyalah hasrat untuk kepentingan sendiri dan golongan tertentu. Padahal sejarah bertujuan mencapai bahagia bagi semua bukan segelintir.

Hal tersebut tidak akan terjadi apabila sejarah yang ditulis bukan untuk mengadili atau menghakimi. Seperti yang dikatakan Kuntowijoyo bahwa sejarawan bukanlah mengadili tapi melukiskan. Ya, memang seperti itulah seharusnya. Dengan demikian sejarah yang dituliskan dan disampaikan tidak akan terkesan curhatan sakit hati atau kekecewaan terhadap sesuatu apalagi yang masih menjadi kontroversi.

Terakhir saya ingin menyampaikan sebuah kalimat menarik dari seorang Peter Kasenda yang menngatakan bahwa setiap pengarang haruslah betul-betul yakin subyek yang dipilihnya harus cukup sempit dan terbatas atau sangat khusus untuk digarapnya. Hal ini memang benar adanya terutama bagi pemula, sebut saja mahasiswa tingkat akhir yang ingin menyelesaikan tugas akhir. Memilih dan sampai menentukan judul yang terlalu umumdan berdampak pada pembahasan yang akan kabur dan bisa saja tumpang tindih diantar pembahasan.

Cukup fokus pada satu pokok pembahasan, di eksplor sedemikian dalam, yakin terhadap permasalahan karena fokus. Itulah gunanya pembatasan masalah. Mengambil tema umum lalu dikerucutkan pada satu permasalahan yang bisa dieksplor lebih lanjut. Penulisan yang seperti itu akan meminimalisir adanya karya yang naratif. Hanyaa menyeleksi peristiwa-peristiwa penting lalu menuliskannya, itulah yang dikatakan Sartono Kartodirjo.

Sekali lagi perlu disampaikan bahwa menulis dan kesadaran sejarah adalah satu kesatuan yang saling mendukung satu sama lain. Menulis sejarah karena sadar akan sejarah lalu menularkan kesadaran sejarah itu kepada orang lain melalui tulisan, sebuah tulisan sejarah yang mampu menggugah kesadaran sejarah manusia. Menjadikan manusia seutuhnya, manusia yang sadar akan sejarah. Bila sejarah adalah manusia, agar tidak menjadi dongeng, maka tulislah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline