Lihat ke Halaman Asli

Windu Merdekawati

Petualang hidup

Tradisi Masyarakat Jawa Jelang Ramadan

Diperbarui: 16 Mei 2018   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak terasa bulan Ramadhan sudah di depan mata. Syukur Alhamdulilah masih dipertemukan dengan bulan nan suci ini. Bulan yang selalu dinantikan khususnya oleh umat Islam ini biasanya disambut dengan beberapa tradisi tertentu sesuai dengan adat-istiadat daerah setempat. Di Pulau Jawa sendiri, khususnya di daerah Solo dan Yogya ada beberapa tradisi yang telah turun temurun umum dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat, diantaranya adalah tradisi Nyadran dan Padusan.

Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta dari kata "Sraddha" yang artinya keyakinan.

Istilah sraddha awalnya digunakan oleh masyarakat Hindu pada masa kerajaan Majapahit. Raja Hayam Wuruk seringkali mengadakan upacara Sraddha untuk memuliakan arwah sang Ibunda, Tribhuwana Tunggadewi.

Masuknya Islam ke Nusantara menyebabkan ritual Sradha menjadi tradisi Nyadran yang rutin dilakukan di bulan Ruwah. Kata "Ruwah" sendiri merujuk pada kata "arwah" dimana pada bulan Syakban dianjurkan untuk memuliakan orang tua, termasuk yang sudah meninggal.

Pada hari tertentu di bulan Ruwah (di daerah tempat tinggal saya biasanya pada tanggal 15 Ruwah) masyarakat melakukan ritual ini. Mereka bersama-sama membersihkan area pemakaman (terutama makam keluarga), tabur bunga kemudian dilanjutkan dengan acara membaca do'a. Tidak hanya bersih-bersih, mereka juga membawa nasi berkat atau tumpeng ingkung, snack dan buah-buahan. 

Setelah selesai berdo'a bersama, nasi tumpeng dan sajian lainnya kemudian dibagikan. Nyadran merupakan kearifan lokal yang dapat menjadi momentum untuk mempererat kebersamaan. Nyadran bagi orang Jawa merupakan upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, menjaga hubungan baik dengan masyarakat dan lingkungan, serta wujud bakti kepada para leluhur. 

Tradisi ini selain sebagai momentum untuk mendoakan leluhur, juga sebagai sarana berkumpul guyub rukun dengan sanak keluarga dan handai taulan. Di samping itu ada hal yang lebih utama yaitu momen untuk mengenang dan mengenal sejarah diri sendiri. Setiap orang mempunyai sejarah (silsilah leluhur). Ritual Nyadran atau Ruwahan juga mempunyai makna simbolis bahwa saat memasuki bulan Ramadhan, kita harus benar-benar bersih, yang antara lain diupayakan dengan cara banyak berbuat baik kepada sesama dan semesta.

Tradisi selanjutnya yang dilakukan masyarakat mendekati hari pertama puasa adalah Padusan. Padusan berasal dari kata dasar "adus" yang berarti mandi. Padusan dimaknai sebagai pembersihan diri dari segala kotoran jiwa dan raga sebelum umat Islam menjalankan ibadah puasa. Tradisi ini biasanya dilakukan masyarakat dengan berendam atau mandi besar di sumber mata air, misalnya di sungai, telaga, sendang, atau bahkan di tepi pantai. Akan tetapi inti dari padusan bukan tentang dimana kita melakukan tradisi tersebut tetapi lebih pada niatan untuk mensucikan diri sebelum memasuki bulan suci Ramadhan.

Melalui serangkaian tradisi Nyadran dan Padusan tersebut bagi masyarakat Jawa, mereka merasa lengkap dan siap untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan suci nan penuh berkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline