Lihat ke Halaman Asli

Nostalgia SMA di Banda Aceh (Bag 3)

Diperbarui: 12 April 2016   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kantin Kak Atik dan Budaya Merokok di SMA 2

 Ada tiga kelompok kantin di SMA 2, saya katakan tiga kelompok karena selain kantin utama yang ada di depan, dekat ruang guru dan kelas 3. Waktu kami masih kelas I, kantin utama ini dikuasai anak-anak kelas III. Kantin ini dagangannya lengkap, mulai dari kopi, teh, berbagai penganan sampai bakso yang dijual seharga 500 perak seporsi.  Penjualnya orang Jawa yang sudah beberapa generasi tinggal di Aceh.

 Di dua tempat lain, kantinnya tidak hanya satu. Satu terletak di belakang dekat kelas I.9 dan Lab IPA. Kantin ini menjadi wilayah kekuasaan anak-anak kelas II, anak I.9, I.8 dan I.7. Salah satu penjual di kantin ini adalah istri Pak Yan, guru Olah Raga.

 Sedangkan kelompok kantin terakhir, ada di belakang ruangan kelas tiga, tidak jauh dari depan pintu ruangan kami kelas  I.1. Ini kantin favorit kami, anak kelas I.1, I.2 dan I.3.

 Kantin ini biasa kami sebut kantin kak Atik sesuai nama penjualnya. Sebenarnya di sana ada dua penjual, tapi keduanya bernama kak Atik.

Di kantinnya Kak Atik juga menjual aneka makanan. Salah satu favorit kami adalah Mie yang dibungkus daun pisang. Dijual seharga 100 perak satu bungkusnya porsinya. Sangat kecil, seperti porsi nasi Kucing yang banyak dijual orang di Solo. Mie ini dimakan dengan kerupuk merah putih yang hambar dan sambal yang ditambahkan sesuai selera. Tapi situasi ini justru dimanfaatkan sama pembeli pertama. Yang pertama datang ke kantin, membeli mie biasanya menambahkan kerupuk sampai batas maksimal, sehingga yang terjadi bukan lagi makan Mie pakai kerupuk, tapi makan kerupuk pakai Mie. Tapi kalau sambal selalu tersisa.

 Di samping Mie, kak Atik juga menjual penganan standar seperti pisang goreng dan cemilan lain, tidak ketinggalan bermacam es.

 Selain jajanan standar itu, kak Atik dan juga kantin-kantin lainnya menjual ROKOK. Di tahun 1989 itu di SMA 2 rokok dijual bebas, terbuka tanpa sembunyi-sembunyi .Saya tidak yakin yang satu ini juga dijual bebas di SMA 1 dan SMA 3. Para guru dan pendidik zaman sekarang mungkin akan kejang-kejang mendapati fakta seperti ini.

 Tapi pada tahun itu, ketika iklan rokok masih dengan gagah menampilkan orang yang menghisap rokok. Guru pun tidak mempermasalahkan bahkan bisa dikatakan men-support budaya merokok.

 Satu pengalaman yang sangat berkesan bagi saya dalam soal rokok ini adalah ketika kami sedang mempersiapkan Aula untuk perayaan Maulid Nabi. Saya termasuk salah satu yang terpilih untuk ikut mendekor aula. Kami dibebaskan dari kegiatan belajar dan konsentrasi menyelesaikan pekerjaan di aula. Makanan kecil dan kopi, disediakan oleh sekolah.

 Ketika kami sedang sibuk mendekor ruang aula, Pak Ismail, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan masuk dan tanpa basa-basi menanyakan “ Mau rokok apa Dik?”. Teman-teman yang sedang mendekor pun, dengan santai menyebutkan merk-merk rokok yang mereka suka. Pak Is kemudian merogoh kantong dan mengeluarkan selembar uang lima ribuan dan memberikannya kepada salah satu siswa yang ada di aula dan menyuruhny membeli rokok.  Dan dia kembali dengan bebeberapa bungkus rokok  Djarum Super dan Surya 16.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline