Lihat ke Halaman Asli

WANADRI, Ternyata Tidak Arogan

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari setelah tulisan saya yang berjudul "MAPALA UI Ternyata Munafik Kelas Berat" yang saya publikasikan di kompasiana http://peristiwa.kompasiana.com/regional/2013/03/20/1/538550/mapala-ui-ternyata-munafik-kelas-berat.html dimana di dalamnya saya menyinggung WANADRI yang saya sebut sebagai kelompok Pecinta Alam yang arogan. Saya menerima pesan pribadi di Inbox Facebook saya dari Muhammad Gunawan alias Ogun, yang merupakan salah satu anggota senior WANADRI.

Inti dari pesan tersebut adalah penjelasan Ogun terhadap peristiwa yang terjadi pada tahun 1994 dari sisi WANADRI. Peristiwa yang telah membuat kami memiliki persepsi negatif terhadap WANADRI selama 19 tahun.

Berdasarkan penjelasan Ogun yang disampaikan dengan sangat simpatik ini. Saya menyadari bahwa pandangan negatif kami terhadap WANADRI yang telah bertahan selama 19 tahun ini, benar-benar karena adanya salah persepsi di pihak kami. Sebab kami telah menilai WANADRI arogan dan sombong hanya berdasarkan informasi dari orang ketiga yaitu POLRI.

Dalam komunikasi antara saya dan Ogun yang berjalan dua arah ini, saya sangat senang ketika Ogun menerima permintaan maaf saya dan juga sangat memaklumi situasi yang kami alami pada tahun 1994 silam. Di mana saat itu komunikasi masih merupakan sesuatu yang mahal. Waktu itu belum ada internet dan telepon genggam seperti sekarang. Sehingga kami tidak bisa langsung serta merta minta klarifikasi dari WANADRI ketika peristiwa seperti itu terjadi.

Untuk lebih memahami kronologis peristiwa ini. Saya pikir saya perlu menjelaskan sedikit tentang latar belakang terjadinya peristiwa yang membuat kami mendongkol selama 19 tahun kepada WANADRI.

Waktu itu tahun 1994 ketika kami dari UKM PA LEUSER Unsyiah berencana melakukan pendakian Gunung Leuser dari jalur selatan.

Jalur selatan Leuser adalah jalur maut. Beratnya medan yang harus dilalui meraih puncak Leuser melalui jalur ini telah merenggut nyawa beberapa pendaki yang mencopa menggapainya. Pada masa itu seolah-olah ada semacam perlombaan (meskipun tidak pernah disebutkan) antara kelompok Pecinta Alam di Indonesia untuk menjadi yang pertama mecapai Leuser melalui jalur ini.

Dalam usaha ini, korban nyawa pun tidak terelakkan. Rika Pandayana adalah nama salah seorang pendaki dari KAPA UI yang menghembuskan nafas terakhir di jalur ini. (Berdasarkan informasi dari Bima Sukma yang mengaku sebagai anggota KAPA UI,  almarhumah Rika bukan anggota KAPA UI. Menurut informasi dari http://makeadventure.blogspot.com/2008/12/gunung-leuser-3381-mdpl.html Rika Vandayana adalah anggota WANADRI)

Pada tahun 1993, UKM PA LEUSER mencoba peruntungan untuk menggapai puncak Leuser melalui jalur ini. Tapi tim ekspedisi Leuser yang kami namakan (Tim Pendakian Gunung Leuser) TPGL 93 yang menggunakan 'Alpine Tactic'sebagai strategi pendakiannya terpaksa mengakhiri misinya pada hari ke 14 tanpa mencapai puncak karena kehabisan logistik. Di belakang Tim Leuser menyusul tim STUPALA Universitas Borobudur yang melakukan pendakian menggunakan 'Himalayan Tactic'. Kedua tim ini menjadikan desa Peulumat sebagai titik awal pendakian. Saat tim Leuser dalam perjalanan pulang, tim kami sempat bertemu dengan tim dari Universitas Borobudur dan sempat berfoto bersama.  Tim dari Universitas Borobudur ini melanjutkan ekspedisi, tapi di hari ke 85, mereka terpaksa mengakhiri ekspedisi karena salah seorang anggota tim mereka yang bernama Hendra Budhi meninggal dunia.

Setelah gagal di tahun 1993, kami yang masih penasaran dengan Jalur Selatan Leuser bertekad menembusnya pada tahun 1994. Meskipun pada tahun 1993 'Alpine Tactic' yang kami usung telah terbukti gagal membawa kami ke puncak Leuser. Tapi karena waktu itu kami selalu kesulitan dana untuk setiap ekspedisi yang kami lakukan, karena di Aceh hampir mustahil mendapatkan sponsor. Maka kami tak punya pilihan, satu-satunya taktik yang mungkin kami lakukan dalam melakukan ekspedisi adalah 'Alpine Tactic' dimana semua perlengkapan dan bekal dipanggul sendiri oleh pendaki. Tidak seperti Himalayan Taktik yang memiliki tim pendukung yang mensuplai kebutuhan tim utama.

Sebagai konsekwensinya kami harus berlatih lebih keras, karena kami dipersiapkan untuk memanggul beban minimal 40 Kg per orang yang diperkirakan akan cukup untuk bekal ekspedisi selama 33 hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline