Lihat ke Halaman Asli

Teknologi Tenaga Angin, Mungkinkah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari yang lalu saya melihat sebuah perbincangan di televisi yang membahas tentang rendahnya kemampuan Indonesia untuk menghasilkan produk-produk berteknologi.

Di acara itu banyak ahli yang membahas masalah ini dari berbagai sudut pandang. Tapi hanya ada satu point yang kami pikir paling menarik dalam perbincangan itu, yaitu kurangnya dukungan dana terhadap industri yang mengembangkan teknologi.

Dan ini benar sekali, karena itu sudah kami alami sendiri.

Kami adalah perusahaan yang berfokus dalam menghasilkan produk-produk teknologi berbasis baja. Sejak tahun 1992, kami PT.Haspelindo Ekatama telah menghasilkan banyak produk dan juga mengerjakan proyek-proyek berteknologi tinggi. Sebut saja misalnya suspensi Per Keong untuk kendaraan niaga dan Jip. Sekarang mobil-mobil niaga baru keluaran Daihatsu dan Toyota, menggunakan teknologi suspensi yang hampir persis sama seperti yang kami buat dulu.

Untuk proyek fisik, kamilah yang merancang dan mengerjakan menara BNI 46 yang sekarang menjadi ikon Jakarta. Selain itu kami juga mengerjakan pembuatan hanggar pesawat di Hongkong dan Manila. Jadi secara teknologi tepat guna seperti ini, sebenarnya kita di Indonesia tidak kalah terlalu jauh dibanding negara-negara yang sekarang berkembang pesat teknologinya.

Sebenarnya kalau pemerintah mau serius dan mau mengalokasikan dana dan membuat kebijakan yang pro teknologi ini, Indonesia akan bisa berkembang pesat sekali. Tapi bagaimana mau bisa maju, kalau alokasi dana untuk riset dan pengembangan teknologi ini saja sangat terbatas. Di Account twitter-nya ekonom Faisal Basri mengatakan, Cina mengalokasikan dana sampai puluhan milyar dollar setahun untuk mengembangkan riset dan teknologi, sementara Indonesia, semilyar saja tidak sampai.

Mentalitas pemerintah dan pengambil kebijakan kita adalah mentalitas proyek, "berapa untuk saya", itu yang paling penting. Dan itu harus dibayar dimuka. Ini kami alami saat kami mempresentasikan teknologi yang bisa menutup semburan lumpur Lapindo. dengan teknologi yang kami punya, hanya dibutuhkan dana 400 Milyar saja untuk menutup lubang itu (pada saat itu sebelum lubangnya membesar dan merembet kemana-mana) dengan waktu enam bulan saja padahal Jepang baru berani mengerjakannya di angka 3,5 trilyun dengan proses yang sangat ribet dan lama. Tapi proyek ini gagal, karena ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dengan adanya bencana ini, yang  mendapat pemasukan dari proyek penanggulangan yang dikerjakan setiap hari. Proyek ini gagal kami laksanakan.

Kalaupun ada pihak swasta yang katanya ingin menjadikan Indonesia setara, itu hanya sampai sebatas omongan. Tidak sampai ke aksi nyata.

Dalam keadaan yang sama sekali tidak kondusif untuk pengembangan teknologi seperti ini. Kami terus berusaha menciptakan beragam inovasi.

Produk inovatif terbaru yang kami hasilkan adalah alat penghemat bahan bakar berbasis air. Yang bekerja dengan cara memecah molekul air menjadi hidrogen yang kemudian disuntikkan ke dalam intake manifold untuk bercampur dengan udara yang masuk ke ruang bakar untuk membantu bahan bakar utama untuk terbakar lebih sempurna serta mengurangi konsumsi bahan bakar yang ada.

Tapi produk yang sudah jadi ini, terkendala masuk ke pasar karena kami terkendala dana untuk mempromosikan dan mensosialisasikan fungsi alat ini. padahal sudah banyak sekali pelanggan yang memakai alat ini yang merasa puas dengan kinerjanya. Cuma itulah, karena tidak ada dorongan kebijakan dari pemerintah untuk memacu produk teknologi seperti ini, kami sangat kesulitan untuk menemukan sumber pendanaan untuk memperkenalkan produk kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline