Lihat ke Halaman Asli

Kartini, Pahlawan yang Banyak Disalahpahami

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13981053181236155082

[caption id="attachment_332673" align="alignnone" width="604" caption="Gambar yang Membandingkan Kartini"][/caption]

Setiap tanggal 21 April yang diperingati sebagai hari Kartini kemarin. Kita selalu membaca berbagai komentar sinis bernada cemburu terhadap tokoh yang satu. Aceh yang oleh mayoritas penduduknya kerap disebut "tanah para aulia" ini yang melahirkan begitu banyak pahlawan perang perempuan adalah salah satu daerah dimana banyak penduduknya yang merasa penokohan Kartini adalah egosentris Jawa, suku mayoritas di negara ini.

Sejak beberapa tahun belakangan ini, tiap 21 april di berbagai media sosial yang banyak dikunjungi oleh orang Aceh beredar gambar Cut Nyak Dhien yang bersanding dengan Kartini dengan tagline provokatif yang sangat menghina Kartini "DIBENCI PENJAJAH" diatas gambar Cut Nyak Dhien dan "DICINTAI PENJAJAH" di atas gambar Kartini. Dan kemudian di bawahnya ditulis, "Lalu mengapa yang paling ditokohkan pemerintah di negeri jajahan ini, justru figur perempuan yang dicintai penjajah dan belum pernah berjuang secara nyata dalam melawan penjajahan kolonial Belanda"

Pernyataan provokatif dan menghina ini, meski berbeda sudut pandang secara ekstrim mengingatkan kita pada ibu-ibu Dharma Wanita di masa orde baru yang biasa membuat pidato-pidati hebat tentang Kartini, padahal mereka sama sekali belum pernah membaca surat-surat Kartini.

Adalah hal yang konyol membandingkan perjuangan Cut Nyak Dhien dengan Kartini, karena itu seperti membandingkan Jeruk dengan Apel. Keduanya memang buah, tapi tidak bisa dibandingkan. Cut Nyak Dhien berjuang secara fisik untuk mempertahankan harga diri bangsanya. Beliau juga hidup di negeri yang bahkan ratusan tahun sebelumnya sudah memiliki laksamana perempuan. Jadi jelas isu yang diperjuangkan oleh Cut Nyak Dhien bukan lagi dalam konteks hak-hak perempuan.

Sementara Kartini, dia adalah perempuan yang hidup dalam kungkungan yang merasakan bagaimana sulitnya menjadi perempuan yang tidak bisa mendapatkan hak dasar sebagai manusia hanya karena ditakdirkan terlahir sebagai perempuan. Inilah menjadi titik tolak perjuangan Kartini.

Berbeda dengan Cut Nyak Dhien yang menunjukkan perlawanan secara fisik, Kartini menunjukkan perlawanan melalui pemikiran.

Saya yakin sekali bahwa orang yang merendahkan sosok Kartini ini tidak tahu bahwa dalam usia ABG, Kartini yang mereka rendahkan itu sudah habis melahap buku-buku sastra bermutu tinggi seperti roman-feminis karya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Di usia ABG, Kartini sudah tuntas membaca Max Havelaar-nya Multatuli sebuah novel yang mengambil latar belakang kehidupan petani Kopi, yang dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah.

Bacaan-bacaan inilah yang mempengaruhi pola pikir Kartini dan caranya memandang dunia.

Kartini yang sudah dipingit sejak umur 12 tahun bukan sosok yang mudah menyerah, meskipun dia tidak boleh lagi bersekolah tapi di rumah ia mulai belajar melalui buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Sehingga di usia ABG-nya, Kartini benar-benar sudah menjadi sosok yang berpikiran global dan memiliki kedasaran yang menginternasional. Meski raganya dikungkung dalam pingitan, pikiran dan jiwa Kartini melanglang bebas menjelajah luasnya dunia. Kartini yang berada dalam kungkungan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.

Sehingga tidak heran di usianya yang masih ABG, Kartini sudah menunjukkan perhatian dan analisa mendalam tentang emansipasi wanita, masalah sosial umum sampai agama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline