Lihat ke Halaman Asli

Jalan Kehidupan

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14016489071983971150

Hidup adalah lagu, nyanyikanlah.

Hidup adalah permainan, mainkanlah.

Hidup adalah tantangan, jalanilah.

Hidup adalah mimpi, wujudkanlah.

Hidup adalah pengorbanan, tawarkanlah.

Hidup adalah cinta, nikmatilah...

—Sai Baba

Pemuda bertubuh kurus itu berjalan lambat memasuki sebuah ruangan di mana ia akan menimba ilmu beberapa tahun ke depan. Namanya Teguh. Usianya sekitar dua puluh tahun. Saat ini ia sedang memandang ke sekeliling ruang kelasnya dengan cermat sambil menanti beberapa teman barunya datang menemaninya.

Sebagai mahasiswa baru, kurasa kalian sepakat denganku bahwa Teguh cukup tua untuk usia anak yang baru masuk kuliah. Namun Teguh tentu punya alasan untuk hal itu. Alasannya tak lain karena ia terlambat masuk sekolah dasar. Sewaktu itu orang tuanya sedang mengalami kesulitan dalam hal keuangan. Namun Teguh sama sekali tak pernah menyesalinya. Ia selalu berusaha mengerti kesulitan yang dihadapi orang tuanya. Lantaran pengertian, Teguh bahkan tak ingin merepotkan orang tuanya lagi dalam membiayai kuliahnya. Ia sekarang dapat bernapas lega karena berhasil diterima di sebuah universitas negeri di kota tempat tinggalnya, tepatnya di Fakultas Keguruan. Dan yang lebih membuatnya benar-benar bersyukur adalah ia berhasil mendapatkan beasiswa dari pemerintah sehingga ia bisa kuliah gratis dengan jaminan IPKnya harus selalu di atas 3,00.

“Hai, sendirian aja? Oh ya, kenalkan, namaku Rio,” ujar seorang pemuda yang tingginya melampaui Teguh sambil mengulurkan tangannya ke arah Teguh.

Melihat senyuman tulus yang diberikan oleh pemuda itu, Teguh pun menjabat tangan pemuda yang mengaku bernama Rio di hadapannya, “Teguh. Senang berkenalan denganmu.”

Itulah awal perkenalan Teguh dengan teman barunya yang setidaknya akan menghabiskan waktu bersamanya beberapa tahun ke depan. Tak berapa lama kemudian ia harus mengingat banyak nama dan menyimpannya di memori otaknya. Ya, tentu saja teman barunya tak hanya Rio. Masih ada Angga, Rudi, Lisa, Siska, John, Alex, Diana, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam sekejap saja, Teguh merasa sangat senang. Ya, ia memang bukan orang yang sulit bergaul. Tak heran dalam sekejap saja ia telah memiliki banyak teman.

***

“Teguh Karya!” ujar Bu Dewi dengan suara lantang sambil memegang selembar kertas di tangannya. Tak berapa lama kemudian, Teguh pun maju mengambil kertas hasil tesnya yang diberikan oleh Bu Dewi.

Bu Dewi merupakan satu di antara dosen killler di kampus Teguh yang amat disegani oleh seluruh mahasiswa. Hampir seluruh mahasiswa pernah terkena semburan kemarahannya terkecuali Teguh. Hal tersebut dikarenakan Teguh selalu dapat mencuri perhatian Bu Dewi dengan nilai-nilainya yang selalu memuaskan dan nyaris sempurna.

“Bagus sekali, Teguh! Kamu bisa mengerjakan semua pertanyaan kuis statistika kemarin dengan sangat baik. Pertahankan itu,” ujar Bu Dewi sambil tersenyum menatap Teguh sebelum melanjutkan perkataannya, “Coba kalian contoh si Teguh ini. Hasil tesnya selalu memuaskan. Dan semua tugas-tugas pun dikerjakan dengan sangat baik. Ini kok kalian malah sebaliknya. Ini, Rio Putra! Kuismu kali ini lagi-lagi di bawah angka enam!” omel Bu Dewi dengan raut wajah masam. Rio dengan takut-takut berjalan ke arah meja Bu Dewi untuk mengambil kertas hasil kuis statistika yang diberikan dadakan oleh Bu Dewi beberapa hari yang lalu.

Rio ingat sekali bagaimana beberapa hari yang lalu ia dan beberapa kawannya seakan terkena serangan jantung saat Bu Dewi dengan gayanya yang anggun mengumumkan di depan kelas dengan suara yang lantang dan membunuh bahwa pada hari itu akan diadakan Pop Quiz. Bayangkan saja, statistika itu punya triliunan rumus yang menurut Rio dan kawan-kawan sangatlah tidak penting dan membuat kepala pening. Namun Rio tak bisa melakukan apa-apa selain pasrah dan meminta mujizat pada Tuhan agar diberikan titik terang. Walaupun menurut Rio, hal terakhir itu sangat immposible. Mengingat semalam ia begadang untuk menyaksikan pertandingan bola kesukaannya. Ia hanya dapat tersenyum miris menatap lembar soal kuis statistika yang saat itu berada di tangannya. Tiba-tiba saja ia melihat ada wajah Bu Dewi pada lembaran kertas soal itu yang sedang memelototinya. Ia sampai perlu memastikan penglihatannya dengan mengucek matanya beberapa kali. Mendadak firasatnya menjadi tidak nyaman.

Dan apalagi tuh Pop Quiz? Memangnya genre lagu, ya? Terus nanti kalau ada Pop Quiz, pasti ada Dangdut Quiz, Keroncong Quiz, Rock Quiz, dan Jazz Quiz, dong? Begitulah pertanyaan yang ada di benak Rio. Namun akhirnya pertanyaannya itu berhasil dijawab oleh sahabat jeniusnya—ya siapa lagi kalau bukan Teguh. Menurut pernyataan Teguh, Pop Quiz itu artinya Kuis Dadakan. Pantas saja Bu Dewi memberi kuis sesuka hatinya, ya namanya juga Pop Quiz. Rio pun akhirnya mengerti. Dan demi apapun, dia benci Pop Quiz! Ia berharap Bu Dewi akan memberi bentuk kuis yang lebih kreatif dibandingkan Pop Quiz. Dan harapan Rio tinggallah harapan karena seminggu kemudian Bu Dewi memberikan Pop Quiz kembali. Rio pun merapalkan kutukan dalam hati. Namun apa daya, ia berhasil mendapatkan nilai terendah kembali!

***

Sudah beberapa hari ini Teguh tidak terlihat di kampus. Hal tersebut tentu membuat Rio dan teman-temannya yang lain menjadi bertanya-tanya. Lantaran penasaran, mereka akhirnya memutuskan untuk bertandang ke rumah Teguh.

Teman-teman Teguh begitu terperanjat melihat rumah Teguh yang begitu kecil dan sederhana. Bahkan beberapa bagian rumah sudah terlihat rapuh termakan usia. Rio akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu rumah mungil di hadapannya tersebut. Rumah itu sungguh sangat lengang seakan tak berpenghuni. Rio kembali mengetuk pintu di hadapannya hingga tak berapa lama kemudian kepala Teguh menyembul keluar dari balik pintu.

“Rio? Kok kamu bisa ke sini?” tanya Teguh kaget. Tak lama matanya pun menangkap beberapa sosok yang berdiri di belakang Rio. “John...Alex...kalian juga datang? Wah, kalian membuatku kaget. Ayo silakan masuk,” Teguh mempersilakan dengan ramah.

Mata Teguh terlihat sembab. Ia juga jauh lebih pendiam dari biasanya. Namun akhirnya teman-temannya menemukan jawaban atas duka yang menggantung di wajah sahabatnya tersebut. Teguh baru saja kehilangan ayahnya untuk selama-lamanya. Ternyata selama ini ayah Teguh sakit-sakitan. Menurut diagnosa dokter, ayah Teguh menderita kanker paru-paru. Namun karena tidak memiliki cukup uang, ayah Teguh tidak dirawat di Rumah Sakit. Kasihan sekali. Rio, John, dan Alex turut merasakan kesedihan yang bersarang di hati Teguh saat itu. Lantaran kematian sang ayah, Teguh memutuskan untuk berhenti kuliah. Rio adalah orang pertama yang begitu depresi mendengar kabar itu.

“Tapi, Guh. Kamu itu pintar! Sayang banget kalau kamu sampai berhenti begitu saja!” protes Rio yang masih ingin agar Teguh tetap meneruskan kuliahnya.

“Kamu nggak ngerti, Yo! Aku nggak bisa melakukan itu...,” ujar Teguh dengan bola matanya yang berkilat menahan tangisnya. “Walaupun aku mendapatkan beasiswa dan nggak perlu membayar uang kuliahku lagi, tapi aku punya banyak adik yang masa depannya menjadi tanggungjawabku sekarang. Intinya aku harus cari kerja! Aku harus menghidupi keluargaku dan mengganti peran Ayah mulai dari sekarang!”

Johnyang dari awal hanya menjadi pendengar yang baik akhirnya buka suara, “Aku rasa kamu tetap dapat meneruskan kuliah sekaligus menghidupi keluargamu....”

Mendengar apa yang dikatakan oleh John, semua pasang mata kemudian menyorot ke arahnya.

“Oh, o—oke. Biar aku jelaskan,” ujarnya sedikit gugup menerima tatapan tajam dari ketiga temannya. “Begini, Guh... Kamu kan pintar, ya. Kenapa kamu nggak ngasi les privat aja? Les privat itu lumayan mahal loh bayarannya. Apalagi kalau kamu bisa memberi les lebih dari lima orang dalam sehari, kamu setidaknya nggak perlu cemas lagi akan biaya hidup keluargamu. Setidaknya sampai kamu sarjana dan jadi PNS nanti.”

“Les privat?” gumam Teguh.

Semua mata memandang ke arah Teguh dengan cemas dan penuh harap.

“Kamu yakin, John?” tanya Teguh yang masih tampak sedikit ragu. John pun menganggukkan kepalanya dengan mantap.

“Baiklah, akan aku coba. Semoga berhasil!” ujar Teguh tersenyum hangat ke arah ketiga sahabatnya yang begitu peduli pada dirinya. Ia sungguh berterima kasih memiliki sahabat sebaik mereka.

***

Sudah tiga bulan sejak ayah Teguh meninggal dunia. Teguh sekarang semakin kurus dan terlihat letih. Ia harus memberi les privat sepuluh kali di tempat yang berbeda di sela-sela aktivitas kampusnya yang cukup padat. Namun ia tidak boleh mengeluh. Ini demi adik-adiknya dan juga ibunya tercinta. Ia tidak boleh mengeluh. Ia mesti kuat. Bukankah itu tujuan ayahnya memberi nama ‘Teguh’ padanya? Tak lain agar Teguh selalu optimis dan yakin pada apa yang menjadi pilihannya serta tidak pantang menyerah.

“Guh, abis ini kita pergi nonton yuk ke bioskop! Aku penasaran pengen nonton film MIKA. Kata temanku filmnya romantis dan menguras air mata gitu. Mau ya? Yaaa?” rayu Lisa yang sudah setahun ini menjadi kekasih Teguh.

Saat itu Teguh dan Lisa sedang menghabiskan waktu jeda kuliah mereka di kantin sambil meminum air pesanan mereka masing-masing. Teguh memesan air mineral seperti biasanya sedangkan Lisa memesan jus jeruk kesukaannya.

“Wah, maaf, nggak bisa sekarang, Sa.” Teguh melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya sekilas. “Abis kuliah, aku ada jadwal ngeles. Kalau mau besok aja ya? Maaf banget...,” sahut Teguh dengan nada menyesal.

Raut kelelahan tergambar di wajah Lisa. Ia menatap tajam ke arah Teguh dan kemudian berkata, “Kamu sadar nggak sih, ini udah yang keberapa kalinya kamu nggak bisa jalan denganku hanya karena jadwal lesmu yang memuakkan itu?! Kamu tau? Aku udah mulai jenuh dengan semua ini!”

Teguh yang tak terima atas perkataan Lisa yang menurutnya menyakitkan itu segera membalas perkataan Lisa, “Kamu bilang ‘hanya’? Mungkin bagimu aku mengajar les hanya untuk mencari uang jajan dan dihamburkan begitu aja. Kalau itu yang kamu pikirkan, maka kamu salah besar!” Teguh menatap Lisa dengan kecewa, “Aku mengajar les ke sana ke mari untuk menghidupi keluargaku! Aku mesti menggantikan peran Ayah sejak Ayah meninggal. Aku pikir kamu bisa mengerti bagaimana posisiku saat ini. Namun ternyata aku salah... Kamu—”

“Cukup! Aku bosan dengan pernyataan yang selalu kau jadikan alasan utama itu! Ya, aku memang nggak bisa mengerti keadaanmu! Aku memang egois! Aku ingin punya pacar yang selalu bisa menemaniku...” Sebulir air mata mengalir di pipi Lisa tanpa ia sadari. “Aku rasa sebaiknya kita putus! Dengan begitu aku nggak perlu sakit hati terus... dan kamu juga dapat mengajar les tanpa hambatan, kan?” ujar Lisa dengan senyuman getir.

Teguh tersentak mendengar permintaan putus yang tidak disangka-sangka dari Lisa. Walau bagaimanapun ia sangat menyayangi Lisa. Jujur saja, sejak pertemuan pertama mereka di kampus, Teguh sudah merasa jatuh hati pada gadis berambut panjang yang berwajah oval itu. Namun Teguh kembali mengingat-ingat bagaimana hubungannya dengan Lisa beberapa waktu terakhir. Dan setelah dipikir-pikir, ia tak sepenuhnya menyalahkan Lisa. Ia memang sudah hampir tak memiliki waktu hanya untuk jalan-jalan keluar bersama Lisa. Seluruh waktunya kini ia habiskan untuk mengajar les privat. Bahkan begitu pulang ke rumah, ia langsung ambruk di atas kasurnya. Nyaris tak sempat memberi perhatian kepada Lisa walau hanya sekedar sebuah SMS ucapan selamat tidur seperti yang biasa ia lakukan. Ya, ini semua salahnya. Lisa berhak untuk marah. Lisa berhak untuk memutuskannya. Namun akankah Lisa benar-benar pergi dari kehidupannya?

“Kalau itu maumu, baiklah. Kita putus. Terima kasih sudah menemani hari-hariku selama ini. Terima kasih untuk semuanya, Lisa...” Ada jeda beberapa saat sebelum Teguh kemudian melanjutkan perkataannya, “kuharap kita masih dapat berteman setelah ini.”

Semenjak hari itu, Lisa benar-benar pergi meninggalkan Teguh. Bahkan jika berpapasan pun ia enggan untuk menyapa Teguh. Namun Teguh tetaplah teguh seperti doa ayahnya. Ia yakin kelak akan ada gadis yang benar-benar mau mengerti keadaannya. Dan saat ini ia hanya ingin fokus menafkahi keluarganya dan menggantikan peran ayahnya dengan sebaik-baiknya. Teguh percaya akan adanya hari indah yang dikirimkan Tuhan baginya suatu saat nanti. Ia percaya bahwa ia mampu melewati jalan kehidupan ini. Ia hanya perlu percaya...

-Selesai-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline