Lihat ke Halaman Asli

Tidak Datang

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Fitra enggak akan datang.”

Suara laki-laki yang berat terdengar sayup-sayup di telingaku, memecah lamunanku. Panji. Benar saja, ternyata dia pemilik sumber suara. Mengenakan kaus oblong dan celana pendek yang menutupi lutut, ia lantas menghampiri aku yang tengah meringkuk di balik pashmina, mencoba menghangatkan diri di tengah angin yang mencoba menghembuskan hawa dingin.

“Gue udah bilang, kan. Fitra enggak akan datang. Kenapa juga lo masih nunggu sampe tengah malem gini?” tanya Panji lagi. Tangannya dimasukkan ke dalam saku sementara ia duduk di batu yang terletak tak jauh dari api unggunku.

“Gue mau nunggu, Fitra. Entah kenapa, gue yakin dia akan nepatin janjinya untuk dateng,” jawabku sambil merapatkan diri, lebih dekat ke arah api unggun.

“Lo enggak nyadar ya, Mel? Liat diri lo deh. Aneh banget ada cewek meringkuk dibalut selimut tipis di tengah pasir pantai. Di depan api unggun, pula. Waras sedikit lah, Melati,” ucap Panji sambil tertawa kecil. Ia bangkit dari kedudukannya dan menyenggol tubuhku dengan lututnya. Gestur khas Panji ketika ia menggodaku. Tidak pernah berubah bahkan sejak kami duduk di bangku SD.

“Gue enggak apa-apa, kok.” Singkat, kemudian aku tersenyum padanya.

Panji menarik napas panjang, sambil mengedarkan pandangnya yang nanar mengamatiku dengan waktu yang cukup lama. “Gue balik ke bis sekarang.” Panji bangkit dan berbalik. Tangannya dimasukkan ke dalam kantong sambil berlalu hingga punggungnya lepas dari sudut mataku.

***

Aku tahu apa yang aku lakukan, bahkan percayai, mungkin gila. Rela terpleset dari dermaga menunggu laki-laki yang mungkin baru aku kenal beberapa minggu karena ia berjanji akan kembali ke pantai sejak...mungkin 5 jam lalu. Untunglah Panji membantuku menepi ke pantai.

Jika ada sedikit logikaku yang kembali, aku bersumpah aku akan mengutuk diriku sendiri karena telah berperilaku sangat gila dan nekat. Tetapi, apa daya yang dimiliki seorang gadis yang memendam cintanya selama lima tahun dihadapkan pada laki-laki dalam impiannya?

Semua kegilaan ini dimula sejak rentetan kejadian yang sederhana, tidak disengaja, dipermainkan oleh takdir, yang membuat mataku tidak bisa lepas dari sosok Fitra yang saat itu mengenakan putih-abu. Harus kuakui takdir bisa saja mempertemukan dua orang di lorong sekolah, menampilkan senyum dan anggukan di antara keduanya, dan mengulangi pertemuan-pertemuan itu di manapun hingga timbul perasaan yang naif di dalam hati salah satunya.

Sayangnya, dua tahun bersama di bawah satu almamater yang sama hanya membuahkan cerita-cerita yang kubagi bersama Panji setiap Minggu sore. Dan fakta bahwa Fitra dan seorang gadis saling melingkarkan tangan.

Kemudian semesta memutarkan kembali roda takdir dengan seenaknya. Aku dibiarkan tahu oleh semesta, bahwa Panji mengenal Fitra lewat acara musik yang membuat mereka berbincang cukup panjang tentang Dashboard Confessional.

It turns out, keduanya pergi ke kampus yang sama.

Keduanya belajar di bawah fakultas yang sama.

Keduanya berada di angkatan yang sama, di jurusan yang berbeda.

“Lo mau gue kenalin ke Fitra, Mel?” tanya Panji di suatu Minggu sore, di waktu biasa ia bertandang dan sesi curhat di antara kami dibuka. Seketika kalimat singkat itu membuka memoriku tentang waktu-waktu yang kuhabiskan untuk memandangi figur Fitra dari kejauhan. Momen-momen aku bersandar pada dinding dan memperhatikannya berlatih taekwondo di lapangan akan berubah segera.

Dihadapkan dengan kesempatan untuk memperkecil gap di antara aku dan Fitra, menyampingkan realita, aku mengangguk se-antusiasnya.

Dan di tempat ini lah kami. Aku dan Fitra, tiga bulan setelah perkenalan, menumpang mobil Panji pergi ke Pangandaran. Mencuri waktu di antara hari-hari kuliah untuk menikmati pasir abu-abu yang disapu ombak. Semuanya akan sangat berakhir bahagia sempurna, sebagaimana episode-episode FTV kalau saja sebuah panggilan tidak mendarat di ponselnya.

Beberapa anggukan, beberapa kata “ya”, dan ia melesat pergi entah ke mana.

Meninggalkan aku dengan sulur jingga di langit. Sendirian.

Berjam-jam aku menunggu hingga sela jariku terselip pasir, sampai sulur jingga digantikan dengan titik-titik emas yang tersebar di kain Tuhan yang menghitam. Berjam-jam hanya ditemani oleh suara kecil desir ombak yang lama-lama membuatku harus mundur agar tidak tersapu.

Demikian kegilaan itu, yang diciptakan oleh otakku yang kehilangan seluruh logikanya.Dan mungkin kegilaan ini tidak akan terjadi, jika saja jari-jari kurusnya tidak menyentuh tengkukku. Jari kurusnya menyentuh tengkukku. Di tengah badai petir yang tak tentu. Diiringi suara sirine dari ujung jalan itu. Jari kurusnya menyentuh tengkukku, menyingkirkan memori mengerikan tentang kematian yang kusaksikan bertahun-tahun lampau. Kematian ibu.

***

“Lo di sini?” tanya Panji, menemukanku berbalut pashmina mendekatinya yang tengah menggenggam ponsel.

Aku mengangguk. Kemudian mendekatinya dengan kepala merunduk, malu ia menemukan aku dengan semua kegilaan ini. “Gue udahan nunggunya, kok,”ucapku singkat.

Dengan segera Panji membukakan pintu depan-kiri, memberikan isyarat untuk masuk. Tanpa berucap satu kata pun, aku mengikutinya. Pun ia segera duduk di kursi supir, menjentikkan kunci, menyalakan mesin mobilnya.

“Fitra ngabarin lo di mana dia sekarang?” tanyaku. Melihat tingkah Panji yang begitu sigap melajukan mobilnya, aku berspekulasi bahwa mungkin Fitra mengiriminya suatu pesan singkat.

Nope, gue enggak tau. Gue ngirim beberapa SMS, tapi dia enggak bales. Tapi gue punya asumsi bahwa dia lagi di Garut. Di suatu rumah sakit. Yang nelepon tadi temennya Ratna, ngabarin kalau dia jatoh dari motor. Gue enggak tau di rumah sakit mana, tapi lebih baik daripada kita nunggu dia di sini.”

Aku menghela napas panjang.

Benar, Ratna. Nama itu menyapu bersih semua kegilaanku dan mengembalikan logika-logika menyakitkan kembali. Fitra, laki-laki yang terlalu indah, masih dibayangi nama mantan pacarnya. Dan aku mungkin tidak akan bisa menggantinya.

Panji mengambil jaket kulit dari kursi belakang dan meletakannya di pangkuanku, kemudian melajukan mobilnya pergi. Sambil menghalau hawa dingin AC dengan jaket tersebut yang kusampirkan sekenanya, aku menutup mata.

Jiwa Melati perlu istirahat sejenak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline