Masih ingat kisah seorang ibu yang sedang mengalami depresi dan berniat bunuh diri dengan meloncat dari menara sutet setinggi lebih 40 meter dan bertegangan 150.000 volt di Kota Pekanbaru, Riau pada pertengahan Januari tahun ini?
Ketika tak seorang pun berhasil membujuknya, termasuk sang suami yang mengiba-iba, hati sang ibu justru luluh dengan ucapan lembut Kapolsek Tenayan Raya Kompol Manapar Situmeang yang membujuknya dengan kalimat "Sayang, ayo turun"
Kata "sayang" mungkin hanyalah sebuah kata sederhana. Kata ini bisa diucapkan dengan muatan perasaan, bisa juga sekadar ungkapan spontan tanpa makna. Kerap digunakan dalam dialog keakraban di lingkungan keluarga, di lingkungan teman, bahkan di lingkungan kerja, sehingga makna hakikinya sering kali menjadi bias.
Namun dalam situasi genting, kata ini justru menjadi penyelamat karena dimaknai secara mendalam bagi orang-orang yang membutuhkan, bahkan berpotensi menyembuhkan segala luka batin yang tak teraba.
Seberapa besar sesungguhnya ungkapan kasih sayang dibutuhkan manusia?
Dalam teori piramida kebutuhan manusia Abraham Maslow, kasih sayang menempati urutan ketiga yang harus terpenuhi. Ini disebabkan dalam kesehariannya manusia senantiasa berhadapan dengan berbagai ujian kehidupan, sehingga ia membutuhkan bantuan psikis berupa kasih sayang yang dapat membuatnya tetap kuat, percaya diri, dan berjiwa besar.
Umumnya pemenuhan kebutuhan kasih sayang kerap dikaitkan dengan interaksi di dalam keluarga. Perlunya kasih sayang antar suami istri, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat Ar-Rum tentang esensi dari Mawaddah, lalu prinsip kasih sayang kepada anak, orang tua, atau sanak keluarga. Padahal kasih sayang bisa datang dari mana saja, bahkan terkadang diberikan kepada dan diperoleh dari orang lain yang tidak memiliki hubungan sedarah.
Dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial, tolong-menolong terhadap sesama adalah wujud dari kasih sayang kepada orang lain yang tidak dikenal. Tujuannya tak lain agar kita menjadi lebih disayang oleh Allah Swt, berharap Sang Pemilik Alam Semesta menjadi ridha atas ketakwaan kita terhadapNya.
Dengan kata lain, selama hidupnya manusia akan selalu berada di dalam lingkaran kasih sayang, sepanjang ia bisa memanfaatkannya untuk bisa "memberi" dan "menerima". Benarlah apa yang dikatakan Jalaluddin Rumi bahwa "cinta adalah suatu penyakit, orang yang dihinggapinya tak pernah ingin disembuhkan", karena faktanya manusia sangat membutuhkan sebagai bagian dari eksistensinya.
Lalu apa bedanya kata cinta dan sayang?