Berita tentang Sulli atau Choi Jin Ri artis Korea Selatan yang meninggal bunuh diri dan diduga menderita depresi, hanyalah satu dari sekian narasi tentang perjuangan hidup selebritas perempuan yang terjadi di masa kini. Mungkin ada jutaan perempuan di dunia, baik selebritas maupun perempuan kebanyakan, yang juga merasa "marah" pada keadaan hidupnya, namun tak kuasa mengungkapkan atau menemukan ruang untuk membantunya keluar dari tekanan, karena terjebak dalam konstruksi tentang citra perempuan ideal yang harus selalu ditampilkan.
Di dunia sastra modern abad ke-20, kisah hidup novelis perempuan asal Inggris, Virginia Woolf (1882-1941) juga menjadi renungan fenomenal bagi banyak pemujanya pada masa itu. Virginia banyak menulis tentang kecemasan-kecemasan diri secara terbuka, yang dulu masih dianggap tabu, dalam sejumlah novel dan otobiografinya, seperti "Mrs. Dalloway", "To the Light House" dan "A Room of One's Own". Namun Virginia juga memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri di Sungai Ouse. Karya-karya kritis Virginia hingga kini terus memberi pengaruh di bidang sastra.
Perjalanan pergulatan perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya adalah sebuah wacana kritis yang agaknya perlu terus disosialisasikan secara dinamis. Hal inilah yang diungkap oleh Prof. Aquarini Priyatna, M.A., M.Hum., Ph.D., dalam acara pengukuhan jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Sastra dan Gender di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, 8 November 2019. Prof.
Aquarini Priyatna, secara ekspresif dan menyentuh, menguak perlawanan terhadap konstruksi yang kerap merepresi perempuan tersebut dalam orasi ilmiahnya yang berjudul "Auto/biografi sebagai narasi feminin/feminis: Perlintasan lokal-global, selebritas, dan budaya populer".
Berikut adalah sejumlah kutipan dari orasi yang disampaikannya:
"Perbedaan Barat dan Timur, global dan lokal, perlahan mulai mengabur dalam jaringan nilai-nilai yang saling mengikat. Narasi mengenai hidup perempuan dapat membongkar lebih dalam dan lebih jauh mengenai pandangan dan nilai-nilai yang sering kali kita anggap benar dan sakral. Narasi mengenai hidup perempuan, terutama yang ditulis perempuan, juga memberikan artikuasi bagi hidup dan cara hidup perempuan yang sering kali dianggap sekunder dan marjinal" (Priyatna, 2019: 5).
"Carolyn Heilburn (1997) menulis bahwa ada empat cara bagi perempuan untuk menulis tentang kehidupannya: Perempuan itu sendiri menulis hidupnya dan menamainya autobiografi; Perempuan menulis hidupnya dan menamainya karya fiksi; Laki-laki atau perempuan menulis hidup perempuan dan menamainya biografi: Perempuan menulis hidupnya sendiri dengan menghidupi hidupnya itu tanpa menyadari dan menami proses yang sedang berlangsung itu" (Priyatna, 2019: 6-7).
"Perempuan sering kali harus merepresi kemarahannya karena perempuan dikonstruksi sebagai "penyayang dan penyabar" sedemikian sehingga perempuan yang marah seringkali dianggap "gila". Perempuan yang "normal" tidak seharusnya marah-marah. Bahkan kegilaan seringkali pada akhirnya memang merupakan manifestasi dari kemarahan yang tidak tersalurkan itu. Kegilaan menjadi bentuk perlawanan terhadap konstruksi yang terlalu kuat merepresi perempuan. Banyak perempuan cemerlang yang mengalami gangguan mental dan psikologis" (Priyatna, 2019: 8).
"Salah satu penulis perempuan yang secara lantang menunjukkan kemarahan dan protesnya dalam begitu banyak karya fiksi dan autobiografis[s] adalah Nh. Dini. Ia berani mengungkapkan kemarahannya termasuk 'dosa-dosanya' sebagai perempuan yang marah dengan konstruksi yang salah, sebagai perempuan yang tidak selalu harus menjadi ibu dan istri yang baik (yang diam saja ketika suaminya bertindak abusif dan menyeleweng). Nh. Dini mengungkapkan perlintasan antara "perempuan baik" dan "perempuan tidak baik" dan membangun diri sebagai perempuan sebagaimana yang diinginkannya" (Priyatna, 2019: 9).
Femininitas Selebritas Indonesia Sebagai Femininitas Baru.
"Dalam masyarakat yang jenuh media, selebritas, terutama selebritas perempuan, dikonstruksi sebagai "spectacle", sebagai pemandangan dan tontonan. Dalam konteks tertentu mereka juga dikonstruksi sebagai subjek/objek yang ideal, dan lebih dari itu menjadi femininitas yang diidealkan" (Priyatna, 2019: 13).