Tahun 2019 telah di ambang pintu. Namun, di tengah berbagai berita bencana alam yang membuat masyarakat Indonesia bersedih, isu politik tetap saja menjadi topik yang paling dicari di media sosial.
Orang pun semakin sering mempertanyakan arah pilihan orang lain, baik melalui aplikasi pesan instan di ponsel, di dalam pertemuan keluarga, maupun dalam interaksi sehari-hari. Kadang dalam bentuk guyon, kadang juga dalam untaian kalimat yang serius. Akan tetapi substansi pertanyaannya sama saja, "You pilih nomor 1 atau 2 ?", dalam Pemilu Presiden nanti.
Pertanyaan sederhana, tapi entah kenapa bagi sebagian orang yang sering digolongkan sebagai "Undecided Voters" (para pemilih yang belum menentukan pilihan) menjadi begitu susah menjawabnya. Masalahnya setiap jawaban yang diberikan berpotensi berdampak pada relasi dan interaksi dengan sesama, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang.
Pasalnya lagi, suara para "Undecided Voters" ini termasuk yang diperebutkan nanti, meskipun persentasenya semakin kecil. Mereka berbeda dari para golput (yang sudah memutuskan untuk tidak mau ikut pemilu), dan para "swing voters" (para kutu loncat pendukung partai). Survei yang dilakukan oleh LSI (Lingkaran Survei Indonesia) baru-baru ini menyebutkan ada sekitar 16,2 persen jumlah para Undecided Voters ini, dan paling besar berada di kisaran usia 20-29 tahun, sebagaimana dikutip dari geotimes.
Para Undecided Voters ini biasanya punya alasan tersendiri untuk tidak menetapkan pilihan sebelum hari "H". Ada yang beralasan ingin melihat perkembangan politik terlebih dulu, menunggu acara debat program dan visi, atau alasan sederhana karena menjadikannya sebagai sebuah "rahasia pribadi" demi menjaga relasi sosial. Bukankah dulu pernah gencar dikampanyekan Pemilu yang jujur, adil, bebas, dan rahasia?
Alhasil, ketika pertanyaan itu ditujukan kepada saya pun, saya tidak segera dapat menjawabnya. Malah saya jadi terlalu "serius", berusaha mencerna lebih jauh tujuannya mempertanyakan prinsip dan pilihan saya nanti, yang sebenarnya masih beberapa bulan ke depan. Keengganan untuk menjawab pertanyaan tersebut justru mengantarkan saya pada renungan tentang realitas pikiran manusia.
Ketika setiap orang kini memiliki kebebasan unuk menyatakan pendapat dan keberpihakkannya kepada salah satu calon idolanya, sekaligus berpeluang memviralkan berbagai video dukungan yang didesain sebagai sebuah kebenaran, hal itu tidak serta merta menjadikannya sebuah gagasan massal.
Desain kampanye Pemilu melalui media massa, khususnya media sosial, kini telah menjadi senjata yang cukup tangguh untuk memengaruhi pikiran para Undecided Voters. Ini disebabkan pikiran manusia pada dasarnya dibentuk oleh sejumlah persepsi yang ditanamkan sejak ia dilahirkan hingga dewasa. Pikiran bertumbuh dan bercabang, baik itu membuahkan "mindset", atau sebatas bunga-bunga paradigma.
Saat ini, hegemoni perangkat komunikasi telah menjejali pikiran manusia dengan berbagai informasi yang serba instan, serba persuasif, pengetahuan yang membuka wawasan, tetapi kadang juga ada yang menyesatkan. Yang kemudian didefinisikan oleh pakar Posmodernisme dan Sosiologis Jean-Franois Lyotard (1979) sebagai pengetahuan yang terkait dengan permainan kekuatan dari luar dan adanya nilai tukar.
Terlebih menjelang masa kampanye Pemilu, geliat media sosial ibarat pasukan perang yang berusaha memengaruhi pikiran setiap orang. Setiap hitungan menit, ada genderang informasi baru yang ditabuhkan. Prinsip-prinsip menjunjung kerahasiaan personal kerap dianggap sebagai sebuah sikap yang "banal". Hanya karena trend kerahasiaan yang sudah menjadi konsumsi publik.
Para pengguna media sosial boleh jadi sudah mengalami kesulitan untuk menemukan makna di balik teks-teks yang diviralkan, karena cenderung lebih dipengaruhi oleh bahasa visual yang sifatnya figural.