Masa kampanye 2018 sudah di ambang pintu. Satu tujuan yang pasti diburu adalah mencapai konsensus di masyarakat tentang "pemimpin pilihan rakyat". Sebagaimana musim kampanye yang sudah-sudah, bisa dibayangkan aneka model desain kampanye melalui media elektronik dan cetak yang bakal bermunculan untuk memperjuangkan suara "bulat" tersebut.
Perlu disadari bahwa persepsi masyarakat tentang konsensus tidak terlepas dari premis bagaimana membangun sebuah kesepakatan makna di dalamnya. Makna tentang pemimpin, makna tentang negara, dan makna-makna lain yang disesuaikan dengan harapan masyarakat. Apalagi di era perang "tanda-tanda visual" melalui media sosial saat ini. Berita apa pun yang terkait pemimpin publik bisa berdampak pada viralisasi visual yang positif atau sebaliknya.
Bahkan tidak jarang memunculkan meme-meme yang membuat "panas" bagi orang-orang yang merasa ditunjuk sebagai aktor utama, yang notabene dianggap layak untuk di-bully oleh publik. Tak dapat disangkal pula bahwa upaya untuk mencapai kesepakatan makna tersebut dalam praktiknya tidaklah sederhana dan perlu kerja keras dari para pakar pembentuk citra. Ini karena rakyat sudah semakin cerdas dan kritis. Rakyat sudah semakin paham pada makna "pencitraan" itu sendiri.
Kampanye melalui media massa -- baik yang dilakukan oleh oleh partai politik, kelompok masyarakat, lembaga formal dan informal, profit maupun nonprofit, hingga individu-individu di masyarakat -- adalah sebuah proses komunikasi yang menjadi ajang kompetisi untuk menggiring opini masyarakat. Akibat terpaan pesan kampanye yang beragam dan repetitif itu, bentukan opini dan persepsi yang muncul bisa berbeda-beda. Guru Besar Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ibnu Hamad, M.Si., mengasumsikannya dalam proses komunikasi sebagai sebuah "jalan terjal menuju kesepakatan makna". Keterjalan itu bisa terjadi karena dalam proses komunikasi selalu ada kekuatan-kekuatan berupa komponen yang tidak tampak dan yang tampak. Pemenangnya, tentu saja -- siapa yang lebih kuat menggiring persepsi tertentu.
Pemikiran Prof. Dr. Ibnu Hamad yang disampaikan dalam "Seminar Nasional Desain dan Media" yang diselenggarakan 25 Oktober lalu oleh Prodi Desain Komunikasi Visual, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta itu seakan terus menggelitik hingga saat ini, mengingat perdebatan opini, pendapat, pendirian, dan sikap, melalui media elektronik dan media cetak tentang berbagai hal yang terkait isu politik tidak pernah mati.
Ini disebabkan pula karena kampanye politik dalam konteks ilmu desain komunikasi visual kerap diwarnai dengan rekayasa tanda untuk membentuk citra. Seminar nasional yang juga menghadirkan pakar tipografi Dr. Naomi Haswanto, dan pakar branding serta komunikasi visual periklanan Dr. Agung Eko Budiwaspada itu menyinggung pentingnya membangun "brand individu" dengan cara mendesain elemen-elemen visual sebagai tanda pembawa pesan yang memiliki kekuatan untuk menghasilkan kesepakatan makna. Alhasil, momen-momen kampanye pun dapat menjadi ajang perekayasaan tanda demi membangun kesamaan persepsi.
Kita mungkin masih ingat bagaimana Presiden SBY dulu punya slogan "lanjutkan" dan "bisa", sedangkan Presiden Jokowi populer dengan slogan "kerja, kerja, kerja", lengkap dengan visualisasi tampilan yang mendukung. Visualisasi pesan slogan ini terus disebarkan secara massif dan berulang-ulang serta berkelanjutan.
Artinya, selama masih ingin mempertahankan citra atau brand individu tersebut, maka kesepakatan makna yang telah terbentuk, dalam perjalanannya harus diiringi pula dengan bukti-bukti nyata. Jangan sampai, pembentukan persepsi yang sudah susah payah dibangun itu bergeser lagi, bahkan meruntuhkan kepercayaan masyarakat.
Inilah yang menjadi "jalan terjal" tersebut. Persepsi tentang seorang pemimpin adalah keberhasilan dari pembentukan citra oleh para pakar PR dengan jajaran kepiawaian desainer-desainernya. Keberhasilan persepsi citra menjadi semacam hukum keprimaan, membentuk kesan menyeluruh tentang seseorang yang berefek kuat dan bisa sangat sulit digoyahkan. Akan tetapi, persoalannya, penilaian tentang citra seseorang, bagaimanapun akan sulit menjadi konsensus universal.
Di dunia para pendukung posmodernisme, ini sejalan dengan pemikiran filsuf J.E. Lyotard tentang "disensus", yaitu ketidakmungkinan konsensus, ketidakmungkinan mencari sebuah kriteria universal dalam segala bentuk penilaian di dalam dunia yang dibangun oleh narasi-narasi kecil. Pandangan Lyotard juga dilengkapi dengan pemikiran John Rawls, bahwa dalam elemen-elemen masyarakat yang plural, selalu ada konsensus yang tumpang tindih, sehingga untuk menjaga keadilan di masyarakat, kontradiksi sifat universalitas dan kritieria individualitas harus dicari jalan tengahnya (Piliang, 2010).
Dengan demikian, dalam konteks penilaian, persepsi yang berbeda bukanlah hal keliru, tidak perlu membuat "panas", ia adalah bagian yang harus kita lalui dengan penuh tanggung jawab dan berorientasi etika di tengah "jalan terjal" tersebut untuk menuju konsensus.