Ada keindahan kehidupan sosial yang selalu terjadi setiap bulan Ramadhan tiba, yaitu kala setiap orang di muka bumi berupaya untuk saling menjaga dan mengendalikan hawa nafsunya dalam kehidupannya bermasyarakat. Gambaran sosok manusia yang pengasih, penyayang, pemaaf, bijaksana, pemurah, taat, penuh sopan santun dan jauh dari perselisihan atau perdebatan pun menghiasi hampir seluruh ruang visual di sekeliling kita. Setiap orang berjuang untuk mengekspresikan pengendalian ego yang “sempurna”. Ramadhan adalah sebuah momen untuk unjuk kemampuan menjadi “manusia ideal”. Sebuah masa sebulan penuh untuk mewujudkan harapan yang tersimpan di setiap alam bawah sadar manusia.
Apa sesungguhnya manusia ideal? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideal diartikan sebagai hal yang sangat sesuai dengan apa yang memang dicita-citakan atau dikehendakinya. Dengan kata lain, manusia ideal adalah manusia yang mampu mewujudkan dirinya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Persoalannya, apakah yang dicita-citakan manusia itu sudah sesuai menurut pandangan masyarakat? Ini disebabkan manusia adalah makhluk sosial, makhluk budaya. Persepsi idealitas manusia tidak dapat dilepaskan dari kehidupannya di masyarakat, di tempat ia berinteraksi dan berkreasi. Lalu di manakah tempat masyarakat itu di dalam alam ini?
Pertanyaan itu pernah dilontarkan Konfusius, seorang filsuf yang melahirkan aliran Konfusianisme di masa Cina kuno (550-479 SM). Dalam buku H.J. Van Den Berg, dkk (1951) dituliskan bahwa di zaman Konfusius, Tiongkok pernah berada di era penuh kekacauan. Masyarakat tidak dapat menjalankan kehidupan yang baik karena tidak tahu bagaimana caranya.
Konfusius lalu berpikir keras untuk menciptakan perubahan demi masyarakat yang lebih baik. Ia pun melakukan penelitian tentang cerita-cerita sejarah, temuan-temuan artifak, dan naskah-naskah lama. Ia menuliskan banyak azas penting dari pedoman raja-raja zaman dulu. Untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan tertib, Konfusius mengambil contoh perilaku raja-raja dari zaman purba. Ia merumuskan suatu struktur pemerintahan yang semestinya, bahwa setiap orang harus tahu dengan tepat di mana tempatnya dalam hidupnya dan apa kewajiban yang harus dijalaninya dalam masyarakat.
Buah pemikirannya yang terkenal adalah, “Raja harus bersifat raja, hamba harus menjadi hamba, bapak harus bertindak seperti bapak, dan anak harus bersifat anak”. Bila dikaitkan pada masa sekarang, maka ungkapan Konfusius tersebut dapat ditulis ulang menjadi: “Hendaknya seorang penguasa bersikap sebagai penguasa, seorang menteri bersikap sebagai menteri, seorang ayah bersikap sebagai ayah, dan seorang anak bersikap sebagai anak.”
Pandangan dasar Konfusianime di atas diinterpretasikan H. Purwanta (2009) dalam bukunya yang berjudul Sejarah Cina Klasik sebagai peran penguasa yang tahu betul akan kedudukannya. Penguasa yang bijaksana dalam pemerintahan, serta senantiasa memerhatikan dan mengutamakan kepentingan rakyatnya, maka dengan sendirinya akan menciptakan masyarakat yang hidup penuh sejahtera dan makmur, karena dari sinilah tercipta suatu harmonisasi alam semesta.
Selama ratusan tahun, bahkan hingga kini, ajaran-ajaran Konfusius memberi pengaruh yang besar dan menjadi pedoman kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Cina. Paradigma Konfusianisme menekankan pada pembelajaran adat sopan santun, serta warisan nilai dan norma dari para leluhur, yang bisa dipelajari melalui peninggalan artifak dan naskah-naskah bersejarah. Dengan cara memahami struktur kemasyarakatan masa silam, dan mempersepsikannya dengan keadaan masa kini, maka setiap individu dapat bertindak sesuai dengan peran dan fungsinya di masyarakat.
Sosok manusia ideal dalam pandangan Konfusius digambarkan sebagai manusia yang agung atau luhur (Purwanta, 2009), yaitu yang melaksanakan li (adat istiadat atau etika) dan yi atau kebajikan pokok yang meliputi: integritas pribadi (ching), keadilan (i), kesetiaan (chung), toleransi (shu), dan perikemanusiaan (jen).
Indonesia sesungguhnya memiliki kekayaan adat istiadat, dan banyak ajaran nilai serta moral sebagai bentuk kearifan budaya. Jadi, untuk belajar menjadi “manusia (pemimpin) ideal” sebenarnya bukanlah hal sulit. Bukankah pada dasarnya, setiap orang punya mimpi untuk hidup tertib, damai, dan bahagia. (WG).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H