Lihat ke Halaman Asli

Winka Nafi

Hanya seorang guru yang masih berstatus murid

Bila Pemuda Islam Murtad, Siapa yang Salah?

Diperbarui: 11 Agustus 2024   06:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Suatu hari, saya pernah didatangi oleh seorang pelajar Islam yang hendak berkonsultasi tentang suatu masalah. Saya pikir dia ingin berkonsultasi tentang pelajaran sekolah atau perihal kesehariannya. Rupanya bukan itu yang akan ia bahas dengan saya. Ia menanyakan suatu hal yang mungkin bagi kalangan pelajar Islam itu adalah persoalan yang tabu dan sangat tidak layak ditanyakan. Pertanyaan apakah itu? Ia bertanya tentang eksistensi tuhan dan urgensi orang memeluk suatu agama. Dirinya bertanya begini: bila orang yang beragama itu selalu melakukan keburukan seperti mencuri dan korupsi, lantas dimana peran agama yang katanya mengajarkan kebaikan itu? Akhirnya terjadilah diskusi panjang antara kami berdua, tentunya dengan saling berbantah-bantahan argumen.

Dalam tulisan ini tidak akan saya jelaskan apa isi perdebatan tersebut, karena itu mungkin bisa kita bahas dalam kesempatan lain. Mengapa? Karena ada satu hal yang lebih menarik untuk kita diskusikan bersama. Bagi saya pribadi, hal ini bisa menjadi tamparan keras bagi kita kaum pelajar Islam yang tentunya otomatis sebagai orang yang beragama. Apakah hal tersebut?

Dalam akhir diskusi, saya bertanya kepada si pelajar Islam ini apakah ia pernah menanyakan hal ini kepada orang lain? Ternyata jawabannya adalah pernah. Lalu saya tanyakan kembali kepadanya, mengapa Anda bertanya lagi kepada saya? Rupanya ia belum puas akan jawaban yang ia dapat. Dia menuturkan bahwa sebenarnya bukan jawaban yang ia dapat, namun justru makian dan ancaman. Beberapa orang yang dia tanya malah menyatakan bahwa dirinya telah kafir dan harus bersyahadat ulang! Padahal, lanjut dia, pertanyaan-pertanyaan ini muncul bukan karena ia tak percaya adanya tuhan serta menganggap agama tak penting. Bukan itu. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul hanya agar ia lebih mantap dalam bertuhan dan beragama.

Saya langsung teringat dengan kisah Nabi Ibrahim alaihissalam dalam surat Al Baqarah ayat 260 yang isinya kurang lebih seperti ini:

"Ibrahim bertanya kepada Tuhan: 'Wahai Tuhan, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan sesuatu yang telah mati?' Tuhan berkata: 'Apakah engkau tidak percaya akan kuasaku?' Ibrahim menjawab: 'Tentu aku percaya, Wahai Tuhanku. Pertanyaan ini hanyalah agar lebih mantap hatiku dalam mengimani-Mu.'"

Ini hal pertama. Hal selanjutnya adalah perhatian saya kepada sikap orang-orang terhadap anak ini. Pelajar Islam ini hanya bertanya dan pertanyaan itu membutuhkan jawaban. Bukannya dijawab dengan argument yang rasional, tapi justru diberikan cap sebagai orang kafir. Apa ini yang menyebabkan pemuda-pemuda Islam saat ini mulai menjauh dari agamanya? Bisa jadi memang sebab mereka menjauh dari agama itu karena ulah para pemuka atau orang-orang yang paham agama itu sendiri. Ketika dihadapkan oleh pertanyaan yang memerlukan jawaban dengan argument yang rasional, karena kelemahan kita dalam bab tersebut, justru kita mengeluarkan jurus terakhir untuk membungkam mereka. Apa jurus itu? Ialah jurus mengancam mereka dengan cap kekafiran dan masuk ke dalam neraka. Dikiranya jurus ini akan membuat si penanya kembali kepada agama, tapi sayang-disayang justru membuat mereka jauh dari agama.

Kondisi seperti ini rupanya pernah disampaikan oleh Ir. Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia, dalam suratnya kepada A. Hassan -Pendiri Persatuan Islam (PERSIS)- yang ditulis pada 22 April 1936 ketika ia diasingkan di Ende, Nusa Tenggara Timur. Surat ini bisa Anda baca dalam buku berjudul "Di Bawah Bendera Revolusi". Di akhir-akhir surat itu beliau menulis begini:

"Apa sebab umumnya kaum terpelajar Indonesia tak senang Islam? Sebagian besar ialah oleh karena Islam tak mau membarengi zaman dan karena salahnya orang-orang yang mempropagandakan Islam; mereka kolot, mereka orthodox, mereka anti pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, takhayul, jumud, menyuruh orang bertaklid saja, menyuruh orang percaya saja -- mesum-mbahnya-mesum!"

Silakan saja Anda naik pitam dan tidak setuju dengan ungkapan Ir. Soekarno itu. Tapi, bila kita mau membaca dengan tenang, hati terbuka, pikiran yang jernih, dan akal yang sehat, tentulah pernyataan beliau ini ada benarnya juga. Sampai dewasa ini, masih ada saja umat Islam yang terlihat kolot, jumud, sering terpesona dengan cerita-cerita takhayul, hanya mau taklid saja, tidak mau menggunakan akal untuk berpikir jauh, bahkan sampai-sampai menolak ilmu pengetahuan baru. Mereka ini hanyut dan terlena dengan ilmu yang mereka tahu saja, tanpa mau menerima suatu hal yang baru. Inilah bibit-bibit orang yang ta'asub dan fanatik kepada golongan, mazhab, partai, dan kelompoknya saja.

Orang-orang ini lebih melihat agama Islam sebagai agama ritual saja. Al Quran sebagai kitab suci umat ini hanya dibaca huruf-hurufnya saja, tanpa direnungi makna dan hikmahnya. Kitab-kitab hadits itu hanya rutin dibaca teksnya, tanpa mau tergerak untuk menelaah lebih dalam isi dan kandungannya. Padahal kedua pusaka umat Islam itu bila dipelajari lebih dalam lagi akan didapatkan bahwa Islam tidak hanya mengurus perkara akhirat, tapi juga perkara dunia. Tidak kah Anda sering membaca Doa Sapu Jagat? Lihatlah bagaimana Allah memerintahkan kepada kita untuk menyeimbangkan antara perkara dunia dan akhirat, tidak berat sebelah.

Dan juga kaum-kaum ini menganggap bahwa penggunaan akal dalam beragama itu adalah hal yang sangat tercela. Selalu dibawa-bawa hadits Ali bin Abi Thalib dalam masalah mengusap khuf. Memang dalam hadits itu disebutkan bahwa agama itu bukan berdasarkan akal. Siapa yang berkata bahwa dalil agama adalah akal? Akal tetap harus digunakan untuk menimbang-nimbang dengan adil dan tenang akan dalil-dalil yang ada di dalam Al Quran dan As Sunnah. Sebagaimana pernyataan K.H. Imam Zarkasyi yang mengibaratkan dalil naqli (Al Quran dan As Sunnah) sebagai pelita, obor, atau pedoman, dan dalil aqli (akal) sebagai mata kepala yang hendak menimbang jalan yang telah ditunjukkan oleh pelita dan obor tadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline