Lihat ke Halaman Asli

Sepatu Merefleksikan Rasa Kurang dan Ketidakpuasan Wanita

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika di abad pertengahan sepatu Chopine yang didisian dengan hak tinggi hanya boleh dipakai oleh para wanita di kalangan kerajaan dan bangsawan, kini sepatu wanita keluaran rumah mode rancangan disainer terkenal hanya bisa dipakai oleh para wanita dari kalangan high class. Pesatnya perkembangan di dunia fashion dimana sepatu wanita juga menjadi salah satu bagian penting, telah ikut mengubah fungsi sepatu yang hanya sebagai alas kaki maupun status sosial penggunanya.

Karena dalam pemahaman di dunia fashion, sepatu wanita bukan satu-satunya perangkat yang bisa menentukan penampilan seorang wanita secara optimal. Sepatu harus bisa “berkolaborasi” bahkan harus bisa “berkompromi” dengan perangkat fashion lainnya agar secara sinergis bisa menciptakan efek penampilan yang prima bagi seorang wanita. Di segi “internal”-nya, sepasang sepatu juga harus bisa memenuhi tuntutan aspek keamanan dan kenyamanan.

Dunia fashion juga bergerak semakin cepat karena terkorelasi dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan dihasilkan beragam material baru sebagai bahan-bahan kebutuhan pembuatan sepatu. Teknologi juga memberikan dukungan kepada para disainer untuk bekerja lebih cepat dan efisien, sehingga bisa merancang lebih banyak model sepatu wanita. Akibatnya masa daur hidup sebuah model sepatu semakin menjadi lebih singkat, kini semakin banyak sepatu wanita yang dijual tidak saja dengan harga murah, melainkan murah dan berkualitas.

Sementara di sisi konsumen, kebutuhan menggunakan sepatu juga berubah bukan lagi didasarkan pada tuntutan fungsinya sebagai alas kaki, melainkan lebih cenderung sebagai kebutuhan untuk tampil lebih elegan, cantik dan menarik. Para wanita yang kurang memiliki kesadaran fashion seringkali memahami secara “terbalik” terhadap fungsi dan tujuan sepatu yang dibutuhkannya.

Mereka berangkat ke mall atau browsing di internet untuk membeli sepasang sepatu bukan disebabkan kakinya merasa sakit karena tidak menggunakan alas kaki. Ironisnya yang terjadi justru terbalik, karena mereka ingin merasa sakit atau sedikitnya ingin terkilir dan terjatuh maka membeli sepasang alas kaki yang menjadi ikon kecantikan dan dinamakan Stiletto high heels.  Mereka tidak memilih sepatu wanita yang aman, melainkan justru “membeli resiko”.

Tentu saja hal ini hanyalah gambaran ekstrim bagaimana para wanita yang tidak mampu mengembangkan kesadarannya tentang fashion akhirnya menjadi korban industri mode. Karena sebenarnya di dunia fashion tidak pernah ada peraturan, ketentuan atau perundang-undangan yang menyebutkan bahwa untuk bisa tampil cantik wanita harus menggunakan sepatu berhak tinggi dengan tumit berujung runcing.

Mindset yang dikembangkan produsen untuk mendongkrak penjualan produk mereka kadang-kadang langsung diterima konsumen tanpa pertimbangan secara rasional. Keinginan untuk tampil lebih menarik dan cantik merupakan dorongan naluriah yang menjadi kodrat bagi para wanita. Tetapi kelemahan ini bisa diantisipasi jika wanita benar-benar memahami dan mengembangkan kesadaran fashion mereka.

Terkait dengan hal itu untuk melengkapi thesisnya sebagai tugas akhir di Gerrit Rietveld Academi, Amsterdam, Belanda., Leanie van der Vyver, mahasiswi seni asal Afika Selatan merancang sepatu yang diberi nama “Scary Beautiful”. Sepatu tersebut dirancang terbalik sehingga sulit untuk dipakai berjalan. Rancangannya itu meraih nominasi untuk penghargaan desain bergengsi Gerrit Rietveld yang diadakan kampusnya itu.

Mengapa demikian ? Sepatu ini bukan dirancang untuk kepentingan popularitas atau karena hasil pekerjaan iseng seorang disainer.  Tetapi mencerminkan filosofi cukup dalam tentang wanita dan kecantikan yang direfleksikan pada sepatu sebagai salah satu perangkat fashion.

Disain itu merupakan kritik terhadap industri fashion yang sering mengagung-agungkan kesempurnaan penampilan wanita. Sehingga membuat wanita merasa terus menerus tidak pernah merasa sempurna jika tidak menggunakan produk fashion terbaru.

Kondisi seperti itu, menurut Leanie, membuat para wanita tidak pernah merasa bersyukur kepada Tuhan atas kondisi tubuh yang mereka miliki. “Aku menulis thesis tentang bagaimana manusia sudah mempermainkan Tuhan dengan tubuh mereka. Mereka secara terus-menerus mencari kesempurnaan, dan kesempurnaan ini sudah mencapai klimaks dalam industri fashion dan kecantikan yang ditandai sudah tidak ada sepatu dengan hak yang bisa lebih tinggi,” jelas Leanie seperti yang pernah dikutip Daily Mail.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline