Memasuki Semester Ganjil Tahun Ajaran 2022/2023 kembali kami Tim Literasi SMKN 5 Pangkalpinang diminta untuk menyusun program Literasi Baca Nyaring maupun Literasi Kitab Suci. Haa..sebenarnya penamaan Literasi Kitab Suci ini baru berani saya sounding setelah saya sudah mengikuti Kelas Bhineka tahun lalu dan sekarang sedang ikut juga program Sekolah Kebhinekaan Yayasan Cahaya Guru. Setahun yang lalu, salah satu nama program literasi yang kami susun adalah Literasi Baca Al Quran, nama yang dicantumkan seperti program literasi sekolah pada umumnya.
Diberi nama seperti itu, karena mayoritas siswa di sekolah saya adalah muslim. Namun, setelah saya pikir, perlu adanya perubahan nama agar lebih memberikan ruang untuk siswa yang non muslim juga. Walaupun jumlahnya minoritas tidak lebih dari 10 orang, tapi bagaimanapun mereka tetap harus difasilitasi. Oleh karena itu, saya berpikir lebih adil kalau dinamakan Literasi Kitab Suci. Karena yang non muslim juga diberikan kesempatan untuk membaca kitab sucinya masing-masing. Kesadaran ini datang setelah saya mendapatkan banyak kesempatan belajar mengenai keberagaman dan insight ini yang mendorong saya lebih berani untuk mencoba menerapkan inspirasi yang saya peroleh dari teman-teman lain yang sudah lebih dulu menerapkan nilai-nilai keberagaman di sekolahnya.
Untuk tahun ini juga, program Literasi Kitab Suci yang non muslim menurut saya lebih membuka ruang perjumpaan karena di situ berkumpul siswa-siswa yang berbeda agama. Baik yang beragama Kristen, Katolik, Budha juga Konghucu. Mereka dikumpulkan dalam satu kelompok yang didampingi oleh guru Non muslim dan sesekali juga saya. Sedangkan untuk yang muslim berada di kelas masing-masing dengan dipandu dan didampingi guru mata pelajaran jam pertama yang beragama muslim.
Sebenarnya ruang perjumpaan ini menurut saya sangat menarik. Gimana tidak, mereka kami minta secara bergantian tiap minggunya membacakan ayat-ayat yang ada dalam kitab suci masing-masing dan siswa lainnya menyimak. Kebetulan, dalam seminggu kegiatan literasi kitab suci berlangsung 2 hari yaitu hari Rabu dan Kamis. Begitu juga ketika ruang ini dibuka, di awal perjumpaan setiap siswa bergantian membuka dengan doa menurut keyakinannya. Siswa lainnya menyimak doa yang dibacakan sambil mereka juga berdoa sesuai dengan yang diyakininya. Setelah salah satu teman mereka membacakan ayat-ayat yang ada di kitab suci mereka, teman agama lain menyimak, selanjutnya mereka menyampaikan pendapat atas nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci yang dibacakan oleh teman lainnya dan ataupun nilai yang mereka jelaskan boleh juga dikaitkan dengan nilai-nilai kebaikan yang mereka dapatkan dalam kitab suci agama mereka masing-masing.
Namun, dalam perjalanannya, ada hal yang menggelitik yaitu ketika ada siswa yang beragama Konghucu sebut saja namanya Kevin, ketika kami minta dia bergantian membacakan ayat dalam kita sucinya. Dia awalnya selalu menolak untuk membacakan dan memilih tetap mengikuti dan menyimak bacaan ayat yang dibacakan temannya yang agama Kristen maupun Katolik. Dia biasanya ikutan membaca dan menyimak melalui aplikasi Kitab Suci Kristen atau Katolik yang ada di HP Android. Sekali waktu, pendamping mereka yang sama-sama non musllim, tidak hadir, dan akhirnya saya yang menggantikan mendampingi mereka, dan saat itu sempat ada kejadian menarik bersama Kevin.
Awalnya saya heran kenapa Kevin selalu menolak jika diminta membacakan kitab sucinya. Saya berharap ketika giilirannya Kevin mau membacakannya. Namun kali ini, ketika saya minta Kevin bergantian membacakan kitab sucinya, dia kali ini menjawab : " Gak tau Bu yang mana kitab suciku." Spontan dong kami semua heran, " Lho kok bisa gak tau dengan kitab suci agamamu Kevin ? " Tanya kami saat itu. Lalu dia menjawab lagi, " Soalnya Ama dan Apaku (panggilan orangtua orang Cina) gak pernah simpan kitab suci di rumah." Oalaah...seperti itu ya." Tapi kami makin dibuat penasaran sama penjelasan dia. " Jadi biasanya ada dimana kitab suci itu disimpan ? " tanyaku. Dengan santai Kevin menjawab " ya adalah di Klenteng sana ".
Dari penjelasan Kevin ini terus terang membuat saya semakin bingung dan penasaran. Bagaimana mereka beribadah tanpa adanya panduan kitab suci. Dan rasa penasaranku ini sempat terjawab oleh salah satu guru yang juga berasal dari etnis China, menjelaskan bahwa memang biasanya kitab suci orang Konghucu (Shishu Wujing) tidak selalu ada tersimpan di rumah. Tetapi kitab suci itu tetap ada, hanya lebih sering ditemui di rumah ibadah mereka yaitu di Klenteng atau Tepekong. Dan hal ini bukan menjadi masalah besar bagi orangtua Kevin serta keluarganya.
Karena, rupanya selidik punya selidik ketika Kevin SMP diapun bersekolah di Sekolah Yayasan Katolik, pelajaran agama yang dia ikuti juga Katolik sekalipun dia Konghucu, sehingga dia tidak mempermasalahkan ketika tidak membawa kitab sucinya karena memang pelajaran agama yang diikuti di sekolah saat SMP itu Katolik. . Hal ini juga sama dengan keadaan Ayah Ibunya yang tidak pernah mempersoalkan dia ikut pelajaran agama apa selama dia bersekolah. Sehingga akhirnya sampai di sini kami paham, kenapa Kevin kurang mengenal kitab sucinya.
Di satu sisi, kami semua mencoba memahami kondisi itu, tapi di sisi lain, kami melihat secara tidak langsung orangtua Kevin mengajarkan anaknya untuk lebih toleran dengan keadaan lingkungan sekolah yang dimasuki oleh anaknya. Mereka secara sekilas, tidak memaksakan anaknya untuk secara kaku hanya mengikuti ajaran agama mereka saja. Namun di sisi lain, secara tidak langsung kami melihat Kevin tumbuh menjadi pribadi yang lebih luwes dan lebih toleran dimanapun dia berada. Karena waktu SMP dia tidak bermasalah bersekolah dalam lingkungan mayoritas Katolik, dan sekarang ketika SMK dia bersekolah dengan mayoritas teman beragama Muslim. Kevin juga merasa nyaman saja ketika harus mempelajari agama lainnya selain agamanya sendiri Konghucu.
Sebenarnya dengan pencapaian program ini, saya masih belum cukup puas karena menurut saya masih ada yang terlewat. Apa itu ? Ya..siswa yang Muslim sekaligus mayoritas masih berkumpul dengan sesama muslim. Mereka belum berjumpa seutuhnya dengan siswa yang non muslim. Begitu juga yang Non muslim diposisikan terpisah di tempatkan di pojok literasi. Jadi menurut pandangan saya, masih ada pemisahan yang sangat jelas, bahwa mereka seyogyanya belum bisa disatukan dalam satu ruang perjumpaan. Saya yakin ketika itu terjadi pasti lebih dinamis dan menarik. Mungkin ini masih menjadi salah satu list PR besar saya yang tahun depan, secara perlahan harus saya wujudkan.