Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia.
Pajak sendiri terdiri dari berbagai jenis yaitu berdasarkan lembaga pemungutan dibagi menjadi pajak pusat (PPN, PPH, PPNBM, dan bea mterial) dan pajak daerah (pajak kendaraan bermotor, hotel, rokok, dan sebagainya), berdasarkan cara pemungutan dibagi menjadi pajak langsung (PBB, PKB, dan PPH) dan pajak tidak langsung (Pajak ekspor, bea masuk, dan PPN), dan berdasarkan sifatnya dibagi menjadi pajak subjektif (memperhatikan kemampuan keuangan wajib pajak) dan pajak objektif (PPN dari barang yang dikenakan pajak). Contoh pembayaran pajak yang bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari saya ialah ketika makan di restoran dalam struk pembayaran terdapat tarif pajak sebesar 7%, saat bekerja dan memperoleh gaji akan dipotong dengan pajak, saat berbelanja di supermarket akan dikenakan pajak, dan sebagainya.
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan atau KUP, sanksi perpajakan terdiri dari sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi terdiri dari sanksi denda, sanksi bunga, serta sanksi kenaikan. Beberapa sanksi tersebut dikenakan untuk berbagai jenis pelanggaran aturan.
Namun, khusus untuk Wajib Pajak yang tidak membayar atau telat membayar pajak, sanksi yang dikenakan adalah Sanksi Bunga Apabila Lupa Membayar Pajak, dalam Undang-Undang KUP, terdapat Pasal yang mengatur sanksi bagi Wajib Pajak yang telat atau tidak membayar pajak, yaitu Pasal 9 Ayat 2a dan 2b. Di dalam Pasal 2a dikatakan, Wajib Pajak yang membayar pajaknya setelah jatuh tempo akan dikenakan denda sebesar 2% per bulan. Denda tersebut dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
Lalu pada Pasal 2b, Wajib Pajak yang baru membayar pajak setelah jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan akan dikenakan denda sebesar 2% per bulan. Yang dihitung sejak berakhirnya batas waktu penyampaian SPT, sampai tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.
Sanksi Pidana Apabila Tidak Menyetorkan Pajak, sanksi ini merupakan jenis sanksi terberat dalam urusan perpajakan. Biasanya, sanksi pidana dikenakan bila Wajib Pajak melakukan pelanggaran berat yang menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan telah dilakukan lebih dari satu kali. Dalam Undang-Undang KUP, terdapat Pasal 39 Ayat i yang memuat sanksi pidana bagi Wajib Pajak yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. Sanksi tersebut adalah pidana penjara minimal 6 bulan dan maksimal 6 tahun. Serta denda minimal 2 kali pajak terutang dan maksimal 4 kali pajak terutang yang tidak dibayar atau kurang dibayar.
Dasar konstitusional kewajiban membayar pajak terdapat pada pasal 23 A UUD 1945. Dengan membayar pajak, warga negara telah memenuhi kewajibannya pada pasal 30 ayat (1) UUD 1945 yaitu kewajiban ikut serta dalam pertahanan dan keamanan negara.
Nah maka dari itu kita sebagai warga negara dan sudah menjadi hak kita untuk ikut berpartisipasi dan ikut serta peran dalam membayar pajak untuk pembangunan nasional yang lebih maju. Dan seharusnya kita sebagai warga negara memiliki kesadaran akan pentingnya membayar pajak demi negara kita ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H