Lihat ke Halaman Asli

Windi Wilanda

Tangan Makna

Alquran Sumber Hikmah dan Kebahagiaan

Diperbarui: 4 Oktober 2018   15:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Alquran sebagai kitab pedoman kaum muslim sudah seharusnya dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang melingkupi kehidupan muslimin. Namun beberapa fakta ditemukan bahwa ayat Alquran justru menyulut konflik di antara manusia. Sebagai contoh timbulnya pro dan kontra terhadap kasus yang menjerat Ahok 2 tahun lalu dalam pemaknaan kata "Auliya" oleh beberapa pihak, begitupun dalam pemaknaan "Jihad" sehingga menimbulkan pro dan kontra terhadap pelaku bom bunuh diri dan teroris.

Alquran secara teks memang tidak berubah, namun penafsiran atas teks selalu berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Karenanya, Alquran selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi dan diinterpretasikan dengan berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak makna sejatinya.

Dalam penafsirannya, Alquran memiliki tiga sisi kemuliaan; pertama adalah sisi objek bahasannya, yaitu kalamullah yang melahirkan beribu hikmah dan sumber dari segala keutamaan. Kedua yakni sisi tujuan, yaitu berpegang pada tali yang kokoh untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki yang tidak akan pernah hilang. Dan yang ketiga adalah sisi kebutuhan manusia terhadapnya, dimana kesempurnaan atau kebahagiaan dunia dan akhirat dapat dicapai apabila manusia memiliki pengetahuan tentang kitab Allah swt.

Namun begitu, mengapa tafsiran Alquran sebagiannya justru menyulut konflik dan pertikaian di antara manusia? Hal itu jelas telah mengeluarkan Alquran dari sisi sebagai hikmah dan sumber kebahagiaan. 

Hal yang jarang diperhatikan dalam memahami Alquran adalah pola interaksi dengan Alquran. Dalam konteks interaksi ini manusia dituntut untuk ikhlash, dalam arti kejernihan motivasi untuk memahami maksud firman-firman Allah. Pada mushaf awal Alquran ditemukan pernyataan "La raiba fihi" yang bermakna "Tidak ada keraguan menyangkut kandungannya" atau "Tidak ada kewajaran terhadapnya untuk diragukan" atau "Janganlah ragu terhadapnya", yang berarti bahwa tidak boleh ada keraguan terhadap Alquran. Larangan ragu di sini adalah keraguan yang lahir dari kecurigaan dan sikap subjektif.

Orang yang berinteraksi dengan Alquran pun dituntut untuk memiliki sikap rendah hati. Dalam ayat 2 surah al-Baqarah malaikat menegaskan, "Mahasuci Engkau! Tiada pengetahuan bagi kami kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." yang mengartikan bahwa tidak boleh ada pemaksaan kehendak dan ketergesa-gesaan dalam menetapkan makna ayat Alquran.  Hal itu pun dikuatkan dengan salah satu ayat Alquran, "Sesungguhnya dugaan yang tidak berdasar tidak dapat mengantar kepada kebenaran.". Harus diakui bahwa untuk mencapai tahap yang meyakinkan tentang kebenaran penafsiran ayat bukanlah satu hal yang mudah, bahkan ulama mengakui bahwa sedikit sekali yang sifatnya pasti atau meyakinkan dalam penafsiran ayat-ayat Alquran.

Penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mufasir. Hal ini dilakukan supaya tidak terjadi salah penafsiran (mal praktik) akibat tidak adanya ilmu yang mumpuni yang dikuasai mufasir. Dr. Ahmad Syurbasyi mengutip pendapat Imam As-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan, setidaknya seorang mufasir harus menguasai ilmu sebagai berikut:

Ilmu Bahasa

Ilmu Nahwu

Ilmu Sharaf

Ilmu Etimologi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline