Lihat ke Halaman Asli

Revisi, Perlukah ?

Diperbarui: 14 Februari 2016   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta, Kamis 14 Januari 2016 lalu, terjadi ledakan bom di Jalan M.H.Thamrin tepatnya di gedung Sarinah. Aksi peledakan bom tersebut menewaskan tujuh orang dan beberapa orang mengalami luka ringan hingga luka berat termasuk aparat pihak berwajib.

Menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar, motif dari pelaku peledakan bom adalah untuk menunjukkan keberadaan jaringan kelompok ISIS di Indonesia. Kasus ini mendapat perhatian lebih dari berbgai kalangan karena salah satu terduga pelaku pengeboman, Dian Juni Kurniadi dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan tertutup. Hal ini sunggu bertolak belakang dengan aksi – aksi bom sebelumnya yang diketahui bahwa pelaku cenderung pribadi yang aktif dalam lingkungan sosial.

Bila dianalisis hal ini mengacu pada proses perekrutan pengantin oleh para dalang pengeboman. Mereka biasanya memberikan doktrin – doktrin tertentu yang dapat menguatkan pengantin untuk melakukan jihad. Doktrin tiap pengantin akan berbeda dan disesuaikan dengan kepribadiannya.

Walaupun aksi bom Sarinah ini ramai dibicarakan publik sebagai kegagalan pemerintah namun dari aksi peledakan bom dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah berhasil diminimalisis oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia. Pihak kepolisian telah melakukan berbagai aksi heroik dalam pengamanan. Berhasil tidak di puji, gagal di caci maki, mungkin itu ungkapan yang pas untuk Kepolisian Republik Indonesia.

Dari data yang ada pihak kepolisian telah melakukan  penangkap 1.000 orang yang diduga sebagai pelaku terorisme dengan rincian 97 orang tersangka meninggal di tempat kejadian perkara, 12 orang pelaku bom bunuh diri, 3 orang dihukum mati dari 166 kasus. Kemudian 27 orang tengah dalam proses penyidikan, 296 orang telah divonis di pengadilan, 28 orang proses persidangan, 451 orang telah bebas dari hukuman, dan 86 orang dikembalikan kepada keluarga masing-masing.

Setelah pengungkapan kasus peledakan bom Sarinah, beredar kabar pengajuan revisi undang-undang terorisme oleh Kepala Badan Intelijen Negara, Sutiyoso. Beliau menginginkan pemberian wewenang untuk melakukan tindakan berdasarkan informasi yang telah mereka dapat. Bila perevisian ini disetujui maka akan terjadi keambiguan tugas antara BIN dengan Desus 88 Anti Teror yang merupakan bagain dari Kepolisian Republik Indonesia. Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiterorisme yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi,

ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Sedangkan BIN adalah lembaga intelijen tertinggi di Indonesia dan merupakan lini pertama dalam sistem keamanan nasional,dengan menyajikan intelijen kepada Presiden secara profesional dalam rangka mendukung kebijakan nasional sesuai dengan agenda Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019) yang diwujudkan dalam Nawa Cita (sembilan agenda prioritas pembangunan).

Bila wewenang BIN ditambahkan dengan penindakan akan terbentuk lembaga super yang memiliki status lebih tinggi dibandingkan lembaga lain. Sulit untuk mempertanggungjawabkan kepada publik kinerja tersebut. Alangkah lebih baik bila kembali kepada koridor kerja masing-masing. BIN dengan informasi akuratnya dan Desus 88 Anti Teror dengan pengamanan antiterorisme. Lalu, masih perlukah BIN mengajukan upaya penindakan melalui revisi undang – undang terorisme ?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline