Dalam perapian cinta pada kehidupan, sebaiknya tungku tetap terjaga kehangatannya. Tak mengapa meredup, asalkan tak pernah padam.*
[caption caption="Pada rumpun Lasianthera ini, kutemukan selaksa keajaibanNya"][/caption]Shall be null and void like a lamp without oil. Kalimat ini bagiku bukan sembarang kalimat. Mungkin karena penggalan kalimat ini muncul dari seorang bijak; Sang Penyeimbang Alam Semesta Raya ini, sehingga kalimat ini memiliki ruh. Seperti pernah pula dikatakan kepadaku bahwa words like a poisonous plant infects the pure mind. Berangkat dari sanalah aku menggunakan kalimatnya untuk judul artikel ini, sebagai lambang cinta dan penghargaanku kepadanya - merupakan tagline bagi batinku dalam menghadapi berbagai peristiwa yang singgah di dalam keseharianku.
Lama tak menulis di sini, secara tidak langsung mungkin karena penghayatanku untuk kalimat itu. Sungguh, kalimat itu seperti mantera yang mengilhamiku di sepanjang tahun ini. Intinya adalah tentang pengendalian dan berserah diri. Setelah merenungkan tentang pengendalian diri, terasa sekali bahwa kalimat itu bermakna luas. Bahwa ketika aku dihadapkan pada kesenangan dan itu harus segera dihentikan, tak pernah terlintas sedikit pun untuk membangkang, namun merunduk dan berserah diri. Tak akan pernah ada tanya "mengapa". Semua kembali lagi kepada sang rasa. Tiada analisis logis mengapa harus berhenti melakukan kesenanganku. Namun lebih memahami bahwa aku harus berhenti dari kesenanganku untuk sebuah tujuan luhur. Inilah makna dari kalimat itu. Mematikan segala kesenangan dengan melepaskan diri dari attachment duniawi dan berserah diri untuk dapat mengalami kebahagiaan sejati dari dalam. Itulah cara menjaga kehangatan tungku cinta pada kehidupan ini.
Bila dikaitkan dengan sejarah manusia: Adam dan Hawa. Maka kalimat ini pun akan menjadi sangat sinkron. Hawa tak mendengarkan perintahNya, akhirnya ia melakukan kesalahan dan bahkan suaminya pun ikut terjebak akibat ketergodaan Hawa memakan buah itu. Ternyata mendengarkan itu lebih sulit apabila dibandingkan dengan membaca dan menulis (Septiyantono, 2014), Mmmhhh... Seandainya Hawa sudah mengenalku, pasti akan aku berikan kalimat mantera ini kepadanya :D Piiiisssss :))
Lagi, Sang Penyeimbang Alam Semesta Raya itu pernah berkata bahwa selfishness itu menyebabkan penderitaaan hidup. Lewat skenarioNya, aku sudah dapat sedikit membacanya - alhamdulillah - bahwa Hawa sudah bersikap egois. Setelah egois, apa yang didapatkannya selain penderitaan? Dengan dikisahkannya mereka turun ke bumi dan seterusnya.
Di penghujung tahun ini, kontemplasiku berbicara tentang banyak hal. Namun penekanannya (masih) terletak pada bagaimana mengolah pikiran dan hati agar tercipta seberkas pengendalian diri untuk dapat terwujud dalam tingkah laku sehari-hari.
Kontemplasiku adalah cerminku. Ia mengarahkan aku ke sudut hening paling bening. Tak ada topeng, tak ada tipuan. Semua indah dipeluk lengan keilaihan; cinta yang membebaskan itu. Kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaan akan lahir dari hati, dan bukan disebabkan oleh lingkungan kita. Senantiasa melihat ke dalam, akan sangat menolong, agar tidak menyalahkan orang lain dan lingkungan di mana kita berada, ketika sesuatu terjadi.
***
Selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad S.A.W., selamat menjelang Natal bagi teman-teman dan para sahabat di sini. Tak lupa juga selamat menjelang tahun baru penuh keajaiban. Cherio...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H