Minggu pagi cerah, saat matahari mulai tersenyum merekah. Menemani langkah kaki kian menderu. Punclut! Ya, Punclut menjadi tujuan Hari Minggu ini. Kangen menghirup udaranya lekat-lekat dengan sepanjang jalan pemandangan cukup indah dan menawan. Kangen dengan hamparan ilalang di sepanjang jalan. Kemudian menyambangi para pedagang dadakan di sana. Ada ketan bertabur kelapa, serabi, aneka sayuran, aneka jajanan pasar lainnya. Ada pula penjual aneka tanaman bunga dan daun. Semua tumpah ruah di sini. [caption id="attachment_270027" align="aligncenter" width="300" caption="Pasar Minggon Punclut"][/caption] [caption id="attachment_270028" align="aligncenter" width="300" caption="Aneka sayuran segar"]
[/caption] [caption id="attachment_270029" align="aligncenter" width="300" caption="Lapang Dengdek"]
[/caption] [caption id="attachment_270030" align="aligncenter" width="300" caption="Kalau hanya tutut saja, cukup tiga ribu rupiah saja sudah bisa diperoleh"]
[/caption] [caption id="attachment_270031" align="aligncenter" width="300" caption="Bandrek hangat dengan serutan kelapa"]
[/caption] Tak ketinggalan tutut. Tutut adalah keong sawah. Dengan bumbu kuning kaya rempah, tutut ini cukup delicious untuk disantap. Ada juga kerang. Mmmhh, yummy. Makanan bergizi tinggi murah meriah. Cukup satu lembar uang pecahan lima ribu rupiah, kita bisa menikmati dua makanan ini sekaligus di sebuah mangkuk: tutut dan kerang. Mau pilih tutut biasa, atau sate tutut dengan bumbu kacang gurih dan lezat. Semua sama nikmatnya. Untuk menetralisir sedikit rasa amisnya tutut dan kerang, setelah menyantapnya minumlah bandrek. Di sini ada juga penjual bandrek dengan taburan serutan kelapa muda. Whoa! Dijamin, saat menikmati kudapan dan minuman ini, semuanya lewat! Bahkan dapat diibaratkan, ketika mertua lewat di hadapan pun, sampai tidak terlihat, karena asyiknya menikmati hidangan ini. Kalau sudah begini, harus segera meminta maaf kepada suami dan mertua. Dapat dirasakan oleh salah satu indera kita. Menikmati view persembahan alam. Pepohonan dan udara segar, matahari hangat menghantarkan sinarnya ke setiap pembuluh darah di tubuh kita. Sambil menikmati sajian tradisional Jawa Barat. Sungguh sebuah anugerah tiada tara. Maka tak berlebihan, jika di atas tertulis ungkapan semua lewat, termasuk mertua, sewaktu menikmati anugerah alam ini. Inilah sesuatu hal sederhana namun sangat berkesan. Penjual tutut di Punclut banyak bertebaran, namun di depan Lapang Dengdek inilah, sang penjual tutut lezat pilihanku itu berada. Kita bisa menikmati di bangku atau lesehan. Ada pula aneka gorengan terhidang di sini: bala-bala, gehu, goreng pisang, ketan bakar maupun goreng, dan lain sebagainya. Dipadu dengan kesejukan pagi, semua ini akan terasa menyegarkan tubuh dan jiwa. Saat pulang, dengan perjalanan menurun (kalau pergi perjalanannya menanjak), maka akan ditemui banyak kedai nasi timbel. Di sini disediakan timbel nasi hitam, nasi merah, nasi putih, dengan lauk menggoda selera. Nasi hitam merupakan nasi khas hanya ada di Punclut. Lauknya ada ayam goreng dan bakar, juga ikan. Lalu gepuk, aneka pepes, ikan asin, dan masih banyak lagi. Kemudian dipadu sambal dan lalap mentah segar. Boleh sekalian mampir ke salah satu kedai ini untuk makan siang di sana atau dibawa ke rumah. [caption id="attachment_270033" align="aligncenter" width="300" caption="Hamparan kota di waktu pagi"]
[/caption] [caption id="attachment_270034" align="aligncenter" width="300" caption="Ilalang dilihat dari atas"]
[/caption] [caption id="attachment_270035" align="aligncenter" width="300" caption="Melewati kebun cengek"]
[/caption] [caption id="attachment_270036" align="aligncenter" width="300" caption="Semburat sinar mentari pagi"]
[/caption] Semoga Pasar Minggon Punclut senantiasa ceria dan rendah hati. Tetaplah menjadi daerah resapan air di Bandung Utara. Kesejukan dan kesederhanaannya biarlah menjadi aset termanis. Sudah banyak wisatawan asing mengenal Punclut, misalnya wisatawan asing dari Jepang, paling sering ke tempat indah ini. Biarlah alam tetap berbicara dan bersenandung, sehingga di dalam keriuhan itu hanya ada hening. Hanya ada sunyi. Lalu terciptalah sisi kontemplasi kita terhadap alam indah ini. Bandung dilingkung ku gunung semoga tetap lestari. I love you much more! *Foto-foto: koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H