Lihat ke Halaman Asli

Diana Wardani

Sederhana

Semestaku, Sungguh Aku Malu : Sebuah Renungan Hari Bumi

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1366606862281627590

[caption id="attachment_239356" align="aligncenter" width="640" caption="Lokasi : Menuju Cicaruk, Situ Lembang @2006"][/caption] Setiap manusia di muka bumi ini, pasti pernah merasakan malu. Malu dan lupa hampir sama kedudukannya. Persamaan itu adalah bahwa kejadiannya tidak bisa direncanakan dan diduga sebelumnya – ya iyalah. Seperti misalnya saat kita menyapa atau memanggil seseorang dari belakang, mungkin dengan berteriak keras saat memanggilnya, menjawilnya dengan penuh rasa percaya diri maksimal, namun orang yang kita panggil itu ternyata bukan orang yang kita kenal. Alhasil, kita hanya bisa tersenyum simpul sambil berkata, “Maaf…” – dan cepat-cepat berlalu. Ini satu contoh – satu saja ya, munculnya rasa malu yang bisa dialami oleh siapa pun juga. Sebagai manusia biasa – bukan wonder women, aku pun pernah mengalami yang namanya malu. Namun, malu yang aku alami ini jauh lebih dalam daripada malu yang disebabkan hanya karena salah menyapa orang. Bagiku, ini merupakan tipe malu yang benar-benar memalukan. Malu yang lebih ke arah tidak tahu diri. Kupikir, ini salah satu error akut bagiku. Kilas balik tentang rasa malu-ku yang terjadi beberapa bulan lalu. Saat aku mengeluh kepanasan. Kemudian dengan bangganya aku menyebar keluhanku ini ke berbagai media (Twitter, FB, dan seterusnya). Menulis bahwa Yogyakarta sekarang pindah ke Bandung. Surabaya pindah ke Bandung juga. Sebab, belum lama aku mandi, keringat langsung bercucuran seperti habis aerobik dan langsung disuruh mengejar maling – FYI, Bandung sekarang sudah tidak sesejuk jaman baheula (jaman dahulu). Lalu, suatu ketika aku disadarkan oleh beberapa jenis tanaman penghias kota di jalanan yang kulewati. Dedaunannya layu dan tampak sudah tidak berdaya lagi. Padahal hari belum berada di atas puncaknya, sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Namun akibat matahari yang sinarnya menyengat, membuat tanaman-tanaman itu lemah, meski hanya untuk sekadar menyegarkan dedaunannya sendiri. Aku perhatikan tanaman-tanaman itu. Betapa mereka tidak bisa berpindah tempat untuk sejenak saja, mencari keteduhan bagi tubuhnya. Betapa mereka hanya bisa pasrah menikmati hari dengan segala bentuknya; entah suatu siksa atau suatu berkah, mereka (terpaksa) tidak peduli. Namun, mereka tak ingin kehilangan keindahan dan eksistensinya. Di tengah panas yang melanda, mereka sebisa mungkin tetap memberi arti bagi lingkungan di sekitarnya; di jalanan itu. Tetap mengambil bagian sesuai dengan fungsinya, yakni memperindah kota. Mungkin, tanaman-tanaman itu akan bersorak gembira ketika hari mengantarkan senja dengan segala bentuk rona dan keteduhannya, syukur-syukur jika ada air yang tercurah dari langit untuk menyegarkan kembali dari kelayuannya. Ada satu lagi pelajaran. Sekarang, makhluk kecil yang mengajariku adalah dua ekor burung yang pagi itu kujemur. Burung-burung yang bukan sengaja dapat beli ini, belum lama aku jemur. Mereka adalah cucak jenggot dan kutilang (cangkurileung) – mereka sekarang sudah mati karena usia. Mereka sudah megap-megap, meski hari belum menjangkau siang bolong. Mereka sudah cukup kepanasan oleh udara dan sinar matahari, yang membuat mereka cukup menderita. Bulu-bulunya yang sedang mabung itu semakin rontok saja dan tak bertumbuh lagi. Dilepas juga mereka tak mau terbang. Maka kupindahkan mereka dari sinar matahari langsung. Kutempatkan mereka di tempat teduh dan nyaman. Dengan keadaan panas tingkat tinggi, toh mereka masih saja bisa berkicau lantang menyambut pagi, sekalian membangunkan aku dan orang-orang tercinta yang ada di rumah ini dari tidur berikut mimpi-mimpinya. Siang panas pun, mereka masih berkicau indah. Artinya, mereka masih bisa menjalankan tugasnya dengan sebagaimana mestinya; dengan sebagaimana seharusnya plus komitmen yang tinggi seperti tanaman-tanaman di pinggir jalan itu. Ada semacam ketulusan di sana; yang dilakukan oleh makhluk-makhluk Tuhan dalam menjalani kehidupannya. Tidak seperti aku yang malah mengedepankan keluhan. Satu butir – dan segera satu butir lainnya dari air mata ini menyusul, tiba-tiba meleleh dari mataku. Ada semacam rasa haru yang segera menghajar ketidakpedulianku. Makhluk Tuhan yang dipikir tidak bisa berbuat apa-apa, ternyata bisa meluruhkan dan membawaku ‘kembali’ ke jalan yang benar. Tersesat karena error dan kesombongan ternyata tidak mendamaikan hati. Merasa diri paling menderita dibanding dengan orang lain – bahkan ternyata dengan makhluk sesama ciptaanNya adalah error paling akut yang pernah aku rasakan. Baik. Sambil menghela nafas, aku harus lebih tegas lagi mengakui bahwa aku telah diajari oleh tanaman-tanaman dan burung-burung ini, tentang bagaimana cara survive yang sesungguhnya adalah perjuangan hidup yang paling esensial. Inilah rasa malu mendalam bagiku. Rasa malu yang telah menjelaskan siapa diriku yang sesungguhnya. Namun aku bersyukur dengan kejadian ini. Sebab, sebuah proses besar di dalam diri bisa saja berawal dari hal-hal yang sangat sederhana. Hal apa lagi yang lebih mengharukan daripada menyadari hal-hal kecil menjadi sesuatu yang lebih besar lagi? Di dalam perenungan ini, tanaman-tanaman dan burung-burung itu seakan berkata kepadaku : “Memangnya, kamu saja yang merasa kepanasan? Kami, lebih kepanasan daripada kamu, tapi kami tetap berjuang menjalani hari dengan kepasrahan total. Kamu bisa lihat sendiri kan, meski kepanasan, kami tidak bisa pergi berteduh di tempat nyaman silir (penuh angin). Tapi kamu? Kamu bisa berteduh di bawah pohon rindang, itu kalau masih ada pohon rindang di sekitarmu. Kamu bisa menyalakan AC atau kipas angin saat berada di mana saja; entah itu di kantor, di rumah, bahkan di mobil. Tapi kamu masih saja cerewet bilang kepanasan, mengumbarnya kemana-mana. Wong yang bikin panas semesta alam ini juga kamu, wahai manusia yang paling sempurna di antara kami....... Kamu, tuh yang bikin GLOBAL WARMING!” *Maafkanlah aku... Kemudian hening

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline