Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi pada artikel yang terbit di situs resminya www.kpk.go.id tanggal 2 Mei 2019, selama ini untuk mengevaluasi tingkat korupsi di Indonesia, pemerintah mengacu pada hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dilansir Transparency International. Namun, kita sendiri tidak pernah tahu, siapa-siapa saja pihak yang melakukan survei tersebut, siapa saja respondennya dan apa saja topik yang ditanyakan dalam survei tersebut.
Menurut saya pribadi Indeks Pemberantasan Korupsi (IPK) tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya acuan dalam upaya pemberantasan korupsi. Terkadang meskipun angka IPK cenderung mengalami peningkatan belum tentu tingkat korupsi di Indonesia juga turun. Baik dari jumlah kerugian maupun jumlah pelakunya.
Karena ibarat gunung es yang tidak kita ketahui, apa yang ada di permukaan atas masih ada kemungkinan terdapat permukaan bawah yang lebih luas atau tersembunyi. Artinya kita jangan terlalu membanggakan angka IPK kita yang tahun ini diklaim naik 1 poin daripada tahun lalu yaitu 38 poin, peringkat 89 dari 180 negara.
Mengapa saya mengatakan demikian? Karena pada kenyatannya kasus tindak pidana korupsi masih terjadi di Indonesia. Sebut saja saat beberapa hari yang lalu KPK menlakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Balikpapan, Kalimantan Timur yang menjerat hakim Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan.
Seperti yang dilansir detiknews.com, mereka yang terkena OTT adalah hakim pada PN Balikpapan atas nama Kayat, panitera Fachrul Azami, dan petugas keamanan (satpam) PN Balikpapan Supriyanto, serta Jhonson Siburian dan Daniel Manurung dan staf Rosa Isabela. Satu lagi adalah warga atas nama Sudaman yang ditangkap di rumahnya atas dugaan keterlibatan kasus yang sama. Mereka diduga terlibat kasus penipuan dokumen tanah yang sidangnya tengah digelar di PN Balikpapan. Hakim disuap untuk membebaskan terdakwa.
Kita dapat melihat dari kasus ini saja, betapa lemahnya moralitas aparat penegak hukum di Indonesia. Memang tidak semua aparat memiliki kebusukan seperti ini tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa realitanya banyak aparat yang melakukannya. Selain aparat, ternyata anggota masyarakat juga memiliki gejala yang sama, yaitu gejala yang menunjukkan keberpihakan pada hal-hal yang menguntungkan diri sendiri padahal bertentangan dengan hukum dan moralitas.
KPK merupakan institusi yang menjadi harapan bagi rakyat Indonesia. Ketika para pemegang kekuasaan begitu buruk dalam menunggangi wewenangnya dengan kepentigan-kepentingan yang bukan untuk menyukseskan pembangunan negara baik bidang ekonomi, hukum, maupun pemerintahan itu sendiri. Lalu di mana letak kepastian hukum yang seharusnya didapatkan? Ketika kerja keras KPK tidak diimbangi dengan dukungan aparat penegak hukum lainnya (misalnya POLRI, hakim, jaksa) maka keadilan hanyalah angan-angan semata.
Mari kita telusur kembali ke belakang. Kita semua tentu masih ingat tentang kasus penyiraman air keras pada salah satu penyidik KPK, Novel Baswedan pada 11 April 2017 yang sampai saat ini belum menemui titik terang.
Novel Baswedan menyebutkan ketika diwawancarai oleh Najwa Shihab pada 28 Februari 2018 bahwa makin lama penyidikan dilakukan maka akan semakin sulit untuk diungkap jadi sekarang mestinya menjadi lebih sulit untuk bisa terungkap jadi mestinya beliau tetap seperti dulu pandangannya yaitu beliau ragu bahwa POLRI dapat mengungkap kasus peyeranagn yang menimpa dirinya.
Walaupun beliau melihat memang penyidik saat ini yang menangani sementara adalah penyidik pengganti bukan penyidik yang dari awal menangani. Artinya mereka memang ada kesulitan ketika tidak menangani dari awal.
Ketidakadilan yang didapatkan oleh Novel Baswedan saat ini tentunya juga berdampak pada keadilan yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat. Karena seperti yang kita ketahui, saat terjadi penyerangan berupa penyiraman air keras pada saat itu Novel tengah menyelidiki salah satu kasus dugaan korupsi.