Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Namun masih rendahnya tingkat pendidikan terutama di pelosok desa-desa membuat sumber daya manusia di Indonesia rendah. Fenomena tersebut berbanding terbalik dengan jumlah lapangan kerja yang ada, sehingga menambah tingkat pengangguran di Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 27 ayat (3) menyebutkan bahwa, setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Mengacu pada undang-undang tersebut maka setiap warga Negara di Indonesia berhak atas pekerjaan untuk penghidupan yang layak dan lebih baik.
Diadakannya program penempatan TKI ke luar negeri adalah satu program pemerintah yang adalah untuk mensejahterakan rakyat dan mengurangi pengangguran dengan tujuan mengurangi garis kemiskinan di Indonesia. Namun tidak sedikit TKI yang diberangkatkan mendapatkan haknya, mereka malah mendapat perlakuan yang tidak sesuai dan tidak manusiawi. Akibatnya, banyak TKI yang merasa terancam melakukan pembelaan diri dan membunuh majikannya sendiri sehingga hal ini sering kali menjadikan TKI menjadi terpidana mati oleh pengadilan setempat.
Sebagai sebuah Negara, Indonesia mempunyai kewajiban untuk melindungi aset Negara baik manusia, harta benda dan politik yang ada di dalam negeri maupun diluar negeri. Hal ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea keempat menyebutkan bahwa, "...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia...". Jadi sesuai penyataan tersebut, ketika TKI melakukan tindak pelanggaran hukum yang melampaui batas (Overmact), maka Negara harus melindungi hak-hak TKI sebagai warga Negara walaupun statusnya tersangka atau terpidana.
Kasus Satinah, TKI asal Semarang yang bekerja di Arab Saudi sejak akhir September 2006, ia menyerahkan diri kepada polisi setempat karena tidak sengaja membunuh majikannya dan divonis hukuman mati. Kemudian tahun 2011 berkat negosiasi Kemenlu akhirnya Satinah bebas dengan membayar diyat 7 juta riyal atau sekitar 21milyar rupiah. Selain kasus Satinah masih banyak kasus TKI laiinya yang terpidana mati karena upaya pembelaan diri dari tindakan kekerasan, pemerkosaan bahkan pembunuhan sering muncul di berita nasional maupun internasional. Kebanyakan TKI yang dikenakan hukuman mati adalah perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan mereka dilakukan seperti budak dan tidak manusiawi.
Di Indonesia peranturan mengenai ketenaga kerjaan terus mengalami perkembangan dari era Soekarno hingga kini. Pada era Presiden Soekarno, di bentuk Kementerian Perburuhan dengan Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1947. Pada masa ini mobilitas penduduk keluar negeri tidak terlalu banyak dikarenakan fokus pada pembangunan dalam negeri. Walaupun begitu TKI yang bekerja di Malaysia tetap berlangsung.
Pada pemerintahan Presiden Soeharto mulai dibentuk peraturan mengenai TKI agar terstruktur dengan pembentukan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam pengiriman TKI yang sudah dilatih agar tidak bekerja sebagai kuli. Pada tahun 1970 pemerintah membuat kebijakan Antar Kerja Daerah (AKAD) dan Antar Kerja Negara (AKAN). Kemudian tahun 1986 terbentuk MoU antara Indonesia dan Malaysia mengenai peraturan migrasi dari Indonesia ke Malaysia yang ditandatangani di Medan sehingga dikenal dengan Medan Agreement yang membahas sekaligus mengenai pengawasan arus migrasi tenaga kerja dari Indonesia ke Malaysia.
Pada masa Presiden Habibie mengeluarkan dua kebijakan, yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 204 tahun 1999 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan UU No. 92 tahun 1998 mengenai skema asuransi sosial untuk buruh migran. Namun dalam kebijakan tersebut hanya membahas mengenai isu-isu mengenai operasional dan manajerial tidak membahas mengenai perlindungan TKI di luar negeri. Pada masa Gus Dur mengeluarkan kebijakan mengenai perlindungan terhadap buruh perlindungan dengan dikeluarkannya Keppres No.109 Tahun 2001. Kemudian dari Keppres ini dibentuk Direktorat baru di Deplu yaitu Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI).
Pada masa Presiden Megawati terjadi maraknya isu-isu TKI illegal sehingga mengeluarkan kebijakan UU No.39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Selain itu, presiden Megawati juga membentuk Badan Nasioanal Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Namun dalam kebijakannya tidak banyak membahas mengenai perlindungan hak-hak TKI yang sedang bekerja.
Pada masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi masa yang paling banyak membuat kebijakan tentang migrasi TKI yaitu (1) Perpres No.81 Tahun 2006 mengenai pembentukan BNP2TKI yang struktur operasional dalam kerjanya melibatkan unsur instansi pemerintah pusat terkait dengan pelayanan buruh migran Indonesia, instansi tersebut yaitu Kemenlu, Kementrans, Kemenhub, Kepolisian, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi, dan lainnya, (2) Inpres RI No.6 Tahun 2006 mengenai Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan TKILN.
Kebijakan ini merupakan suatu bentuk output dari permasalahan buruh migran Indonesia yang ada di Malaysia dan Qatar, (3) Inpres RI No. 3 Tahun 2006 tentang paket kebijakan iklim investasi, dimana ada penghilangan satu point yaitu Balai Latihan Kerja (BLK) yang menjadi syarat berdirinya PPTKIS, (4)Keppres No.2 Tahun 2007 mengenai pembentukan BNP2TKI dengan Jumhur Hidayat sebagai pimpinannya, (5) Peraturan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Indonesia Permenakertrans No.18 Tahun 2007 tentang penempatan dan perlindungan TKILN, (6) Permenakertrans No. 14 Tahun 2010 membahas mengenai pemisahan tanggung jawab Kemnakertrans RI dan sebagai regulator dan BNP2TKI sebagai penanggung jawab operasional dan (7) Permenakertrans No.7 Tahun 2010 mengenai asuransi TKI. Kebijakan ini merupaka revisi dari permen mengenai asuransi sebelumnya pada tahun 2008.
Pelindungan mengenai TKI tidak hanya cukup dengan hukum nasioanl Negara Indonesia dikarenakan masalah TKI merupakan masalah transnasional karena melibatkan Negara lain maka dibutuhkan hukum lainnya untuk menguatkan hukum nasional yaitu hukum internasional. Mengenai hal ini Indonesia cukup banyak meratifilkasi konvensi-konvensi internasional maupun organisasi internasional. Berikut konvensi-konvensi yang telah diratifikasi Indonesia :
- Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia di Tahun 1948 dan diratifikasi pada tahun 2000
- Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Tahun 1963 dan di ratifikasi pada tahun 1999.
- Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil Ekonomi, Sosial dan Budaya Tahun 1966 dan diratifikasi pada Tahun 2006
- Konvensi ILO No.29 tentang Kerja Paksa Tahun 1930 namun diberlakukan pada tahun 1932 dan telah diratifikasi pada tahun 1950
- Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi tahun 1948 dan diratifikasi pada tahun 1998, dan konvensi lainnya.