Lihat ke Halaman Asli

Labuhan Takdir (Bab 4)

Diperbarui: 21 Oktober 2019   03:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

BAB 4
LUKA DEWA


Aku memandang kaku jam dinding yang menggantung di kamar, jarum jam nya bergerak, aku yang tidak bergerak. Aku merasakan sekujur tubuhku kaku, jangankan untuk menggerakkan tubuhku, untuk bernafas saja aku sulit. Aku mulai memikirkan hal-hal buruk tentang kematian, tentang malaikat maut, tentang siksa kubur, aku masih ingat dulu sekali, waktu usiaku belum genap sepuluh, ustad Nurdin guru mengaji ku di surau pernah bercerita tentang siksa kubur dan betapa mengerikannya siksa neraka, ustad Nurdin juga selalu berpesan agar sesama manusia kita harus saling menjaga perasaan, karna Allah paling tidak suka dengan orang yang menyakiti perasaan sesama manusia. Lalu aku langsung teringat Dewa, laki-laki baik yang aku sakiti hatinya, tiba-tiba saja aku teringat sesuatu, aku berusaha menggerakkan tubuhku, aku menjangkau handphone yang berada tidak jauh dari tempat tidurku. Aku membuka email, aku scroll cepat kebawah, ya, saat ini aku tengah mencari email beberapa tahun lalu, email dari Dewa, yang sengaja tidak ku hapus, entah kenapa waktu itu aku memang tidak berpikir untuk menghapus kenangan dari Dewa, mungkin karna aku sangat mencintainya. Dia, Dewa ku yang selalu tersenyum menyenangkan, Dewa yang tawa nya membuat aku jatuh cinta, Dewa yang tidak pernah murung, Dewa ku yang selalu gagah dengan setelan serba hitam nya.
Yup, aku menemukan email itu, email yang dikirimkan dewa setelah aku memberikan kabar tentang pernikahanku dengan mas Yohan.
Setelah menemukan email itu, aku malah tidak berani membukanya, ada yang mengganjal didadaku, perasaan menyesal, perih, hatiku perih. Lalu dengan sangat berat, aku membuka email itu.


Email pertama :
"Sekarat lalu mati..
Kau meninggalkanku dengan dendam..
Aksara..
Demi apa harus ku sumpah ?
Senyummu menyampah di otak..
Tawamu menggema di setiap sudut ruangku..
Aku rindu..
Haruskah kusesali ?
Telah menumpahkan seluruh cinta untukmu..
Aksara, aku rindu..

Yogyakarta, hari saat kau dengan tega mencampakkan aku"

Email kedua :
"Hari ini hujan..
Kau jatuh bersama rintiknya..
Mengalir di pipiku..
Menggenang di relung..
Aku sakit Aksara...
Hatiku..
Kau membunuhnya..
Tega sekali..."

Email ketiga :
Kau adalah buku..
Yang telah ku baca ribuan kali..
Aku telah memahami setiap kata yang ada padamu..
Bukuku..
Sekarang digenggam orang lain..
Apa aku harus marah ?
Atau kubiarkan tangannya menyentuhmu ?
Begitu saja ? aksara ?

Tanpa bisa kubendung, air mataku tumpah, aku menangis tersedu-sedu. Baru tiga email kubaca, masih banyak email lain dari Dewa, tapi dadaku sudah sesak, aku sudah tidak tahan lagi, semua kenangan tentang Dewa memenuhi setiap rongga dada ku, kehangatan yang mengalir namun menyakitkan. Laki-laki itu, yang mencintaiku tulus, yang selalu ada tanpa kuminta, laki-laki yang tidak pernah meninggalkan aku, tidak pernah menduakan aku, sekalipun, selama enam tahun aku menjalin hubungan dengannya, sekalipun tidak pernah dia menduakan aku. Dia, Dewa-ku, laki-laki baik yang kutinggalkan begitu saja, laki-laki setia yang aku sia-sia kan. Bagaimana caraku menebusnya, dosa yang sengaja ku lakukan, aku menyakiti hatinya, bukan menyakiti, aku membunuh hatinya. Aku sang pendosa, pantas saja aku dihukum sekarang, mungkin penyakit yang aku derita sekarang masih belum setimpal dengan rasa sakit yang dirasakan Dewa. Diwaktu ku yang sudah tidak banyak lagi ini, aku ingin sekali menebus dosaku, dengan cara apapun, aku ingin memohon maaf pada dewa, walaupun itu terdengar lucu, tapi aku tidak akan merasa tenang jika aku belum meminta maaf pada Dewa. Ya, aku harus pulang ke Indonesia, harus !
***

bersambung....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline