Lihat ke Halaman Asli

Emak-emak Presentasi ke Indosat?

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_141659" align="aligncenter" width="300" caption="Buku Peri-peri Bersayap Pelangi yang akan dibagikan secara gratis ke rumah-rumah singgah anak-anak tidak mampu"][/caption] Orang bijak bilang, “Jangan takut mencoba, di mana ada kemauan, di situ ada jalan.” Eaaa, ngapain buka postingan gaya-gaya sok bijak gini sih, mak? Hahaha, karena eh karena, hari Kamis kemarin saya merasakan benar kata-kata si orang bijak ini (siapa pun dia) menguatkan saya dan menjadikan saya sadar akan sesuatu. Ini masih rahasia, ya! Jadi gini....*lah, dibocorin juga* Blog Kampung Fiksi mau punya hajatan bulan November nanti. Apa itu? Tunggu aja, deh! Yang jelas semua berawal dari ngobrol-ngobrol nggak jelas saya sama ‘anak angkat binti anak asuh binti anak terbuang’ saya si Pungky. Suatu malam yang gerah, tiba-tiba dia colek-colek saya di Facebook. Dengan gayanya yang sok manja dan sok imut itu, “Ibu, chat yuk!” Mengganggu sekali anak ini. Padahal saya lagi asoy banget nge-twit. Cerita dipersingkat dan dipadatkan, ternyata si Pungky ini lagi bingung cari dana untuk launching dan menyebarkan buku cerita Peri-peri Bersayap Pelangi (yang project-nya dipegang sama dia). Sekedar info, saya juga ikut menyumbang cerita di buku itu. Dan buku tersebut rencananya akan disebarkan secara gratis untuk anak-anak tidak mampu di pulau Jawa. Akhirnya malam itu kami berdua cari-cari ide, bagaimana caranya bisa dapat dana dalam jumlah yang cukup (nggak berani muluk-muluk) dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Si Pungky dengan noraknya bilang mau bikin kotak amal. Haduh, ini yang mau dikumpulin duit recehan apa? Keliatan banget deh desperate-nya si Pungky. Wkwkwkwk... Cerita dipersingkat lagi (sumpah, nggak nyangka juga kenapa jadi panjang gini sih?), saya menawarkan ke Pungky untuk membuat workshop menulis untuk ibu-ibu. Dan Pungky jiper, selain kedengarannya ribet dia juga ada di pelosok gitu, kan. Akhirnya saya bilang, “Gimana kalau Kampung Fiksi yang ngadain? Nanti sebagian keuntungan disumbangkan untuk Spasi (penerbitnya Peri-peri Bersayap Pelangi)?” Dan si Pungky langsung loncat-loncat teriak histeris (kayanya sih). Jadi malam itu juga saya bawa wacana “Kampung Fiksi bikin workshop menulis untuk ibu-ibu, yok!” ke forum Kampung Fiksi. Gayung bersambut, entah siapa yang iseng menyambutnya, teman-teman di Kampung Fiksi antusias sekali. Somehow, kami memang merasa sudah waktunya melakukan sesuatu yang lain untuk memajukan blog kami itu. Event offline seperti ini rasanya yang paling cocok dan tepat waktu, karena kami mulai jenuh cuma sekedar menulis fiksi di blog. Harus ada kemajuan, dan sepertinya ini bisa dimulai dari mengadakan kegiatan workshop menulis ini. Susun punya susun acara, hitung punya hitung anggaran, bentuk punya bentuk panitia...Lama-kelamaan kita jadi bingung sendiri. Tampaknya, mimpi Kampung Fiksi terlalu besar, perlu menggandeng pihak lain yang ber’tangan’ besar untuk menolong kami. Istilah kerennya, CARI SPONSOR! Apalagi kami pikir, ada baiknya acara ini kami buat berkala. Let’s say, 6 bulan sekali. Wuah, jadi tambah semangat nyari sponsor! Hihihihi... Proposal dibuat, dengan segala keterbatasan ilmu dari kami yang sebagian besar tidak pernah berkecimpung dalam hal cari-cari sponsor ini. Beruntung salah satu dari kami, mbak Endah Raharjo, adalah seorang aktivis LSM yang paham benar seluk-beluk mencari dana. Tapi mau ditujukan kemana proposal ini? Siapa yang kira-kira bersedia membantu Kampung Fiksi untuk mewujudkan acara workshop ini? Tuing! Nggak percuma kenal sama yang namanya Srondol. Ahahaheeuy...buat yang belum kenal, kemana ajaaa? Srondol adalah penulis novel komedi Srondol Gayus ke Itali yang sakseus itu, lho! Dan kebetulan yang kami syukuri, Srondol adalah teman baik kami semua di Kompasiana. Terutama lagi, Srondol dekat secara personal dengan keluarga saya. Dan kebetulan yang paling manis adalah, Srondol bekerja di Indosat! Bukan cuma bekerja di sana, Srondol sudah menjadi semacam ikon untuk produk-produk keluaran Indosat karena kesuksesan novelnya. Ah, terlalu banyak kebetulan yang bagus sekali untuk kami. Alhamdulillaah... Lagi-lagi gayung bersambut, dan sekali lagi entah kenapa gayung harus disambut, Srondol bersedia mengusahakan waktu untuk Kampung Fiksi bertemu dengan pihak Indosat. Indosat, ma men! Ujug-ujug, diskusi grup Kampung Fiksi berubah atmosfir, dari yang tadinya semangat menjadi panik. Waduh, siapa yang sanggup presentasi ke Indosat? Dan mau ngomong apa kita ke mereka? Mau nawarin kerja sama kayak apa ke mereka yang namanya jelas-jelas raksasa itu? Sudah tidak ada jalan untuk mundur lagi karena Srondol sudah menentukan waktu pertemuan. Dengan sangat terpaksa, saya harus bersedia menjadi ujung senapan teman-teman di Kampung Fiksi sebab saya adalah pimpinan project ini. Dalam hati saya mau nangis. “Ya Tuhan, aku nekad nyebur kemana ini?” Wajar banget saya dan teman-teman panik. Satu-satunya yang sudah pengalaman untuk melakukan hal ini adalah mbak Endah Raharjo, dan beliau ada di Jogja. Dan kalau pun dipaksakan, tetap saja mbak Endah tidak akan bisa hadir di Jakarta karena sudah waktunya beliau masuk karantina haji. Sedikit ilustrasi tentang saya saat berbicara di depan umum atau orang lain yang tidak saya kenal; bibir kaku, suara bergetar, keringat mengucur, bicara gagap dengan kecepatan tinggi, tangan tidak bisa diam, gesture tubuh tidak indah untuk dipandang dan terdiam hilang kata. Halah, yang begini ini mau maju ngomong sama seorang Division Head dari Indosat lengkap dengan team-nya? Huaaaaa... [caption id="attachment_141660" align="aligncenter" width="300" caption="Team Kampung Fiksi saat presentasi di depan Indosat"][/caption] Apa boleh buat, teman-teman lain yang tersisa dan bisa hadir hari Kamis ke Indosat, sama saja seperti saya. Tidak bisa bicara di depan umum. Akhirnya dengan cengengesan kami; saya, G dan Ria, memutuskan, “Nekad is nekad! Nggak ada kata lain untuk itu!” Hahaha, moto macam apa itu? Wkwkwkwk... Yang pasti kami harus hadir. Walau bagaimana, tidak banyak yang seberuntung kami bisa mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan pihak mereka. Apalagi proposal yang kami usung ini selain nilainya kecil sekali, menempel pula acara charity di dalamnya. Tapi bantuan Srondol untuk mengusahakan pertemuan ini harus kami bayar dengan memberikan presentasi yang baik. Baik itu sudah cukup, mengingat kami memang benar-benar modal zero untuk maju. . Kamis pagi, di Indosat “Mbak, kalau sudah sampai, bilang satpam mau ketemu sama Bapak X, Division Head of Online and Social Media,” SMS Srondol. Gleg, rasanya kaki saya lemes kayak jelly. Kepengen banget ngajak sopir taksi untuk muter balik, “Yuk, pak, anter saya pulang lagi!” (mesra amat ngomong sama sopir taksi?). Saya, G dan Ria berkumpul di lobby, mempersiapkan segala sesuatu yang kami butuhkan. Proposal siap, slide siap, buku-buku siap, tapi mental yang nggak siap ini! Pagimanaaa? Bismillaah! Saya sendiri sampai sekarang nggak bisa ingat terlalu detil bagaimana jalannya presentasi kami dengan Indosat itu. Yang pasti saya mendapat kesan kalau pihak mereka sangat welcome dengan kehadiran kami (thanks to mas Srondol) dan tidak ada pertanyaan-pertanyaan yang membuat kami mati kutu. Sepanjang presentasi, memang hanya saya sendiri yang berbicara. Tapi kehadiran dua teman saya di sebelah benar-benar jadi satu dukungan moral yang besar sekali. Intinya, saya tidak tahu apakah presentasi itu bagus atau tidak. Bagi saya, yang penting selesaikan saja. Sampai akhirnya presentasi kami selesai, saya masih bisa merasakan adrenalin saya menetap di tingkat yang paling tinggi. Ini sama rasanya seperti saat saya menghadapi ujian sidang kuliah. Lebay, ya? Tapi saya masih dalam tahap bengong, udah selesai ya? Pikiran saya masih di awang-awang. Antara percaya atau tidak, bertanya pada diri sendiri, “What did I do? Did I do it right?” Blank. “Mantap, mbak! Impressive presentasinya!” ujar Srondol ketika kami masuk ke dalam lift setelah selesai. G dan Ria mengangguk-angguk setuju, tersenyum lebar, dan ikut menyalami. Berasa artis. “Beneran?” Saya setengah nggak percaya. Sebab jujur sekali, saya benar-benar tidak ingat bagaimana saya berbicara sepanjang presentasi tadi. Hahaha, bisa sih gitu? [caption id="attachment_141661" align="aligncenter" width="300" caption="Saya, Srondol dan Ria seusai presentasi"][/caption] Lesson learned yang sangat berharga yang saya dapatkan dari kejadian hari itu adalah: “Kita tidak akan tahu sejauh mana kemampuan kita sampai kita mencobanya. Kalau kita yakin dengan kebaikan yang kita lakukan, lakukan! ‘Lakukan’ adalah kunci untuk memantapkan keragu-raguan, mengenyahkan ketakutan dan memantapkan keyakinan. Tiga hal yang harus kita taklukkan untuk tahu sejauh mana kemampuan kita; ragu, takut dan tidak yakin.” Setelah hari Kamis kemarin, saya menemukan kalau saya bisa melakukan sesuatu yang selama ini saya pikir tidak akan mungkin pernah bisa saya lakukan. Sometimes you just have to push yourself to the limit to find out what you’re capable to do. Special thanks to Srondol dan Indosat. Apapun hasilnya, saya sudah mendapatkan hasilnya untuk diri sendiri hari ini. Selanjutnya Kampung Fiksi berdoa dan berusaha keras untuk benar-benar mensukseskan acara workshop ini. Demi kami sendiri, demi Peri-peri bersayap Pelangi, demi anak-anak tidak mampu, demi dunia menulis yang kami cintai.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline